Jumat, 23 Mei 2014

Putri, Ratuku



Cinta tak lagi menjadi hal indah dalam hidupku. Bagiku kini hanyalah bagaimana agar aku dapat hidup seorang diri tanpa harus mengiba pada orang lain. Terkadang aku berpikir mengapa orang-orang begitu merasa menjijikannya melihat diriku. Padahal aku pun sama seperti mereka, diciptakan oleh Tuhan tanpa pernah aku memintanya. Lantas bisakah aku protes terhadap Tuhan tentang kelahiranku ke dunia. Apa mau dikata? Aku tak mau berpikir terlalu jauh seperti orang-orang pintar diatas sana. Aku cukup berpikir bagaimana hari ini aku bisa mengisi perutku yang terkadang terasa melilit karena tak sempat dihampiri oleh butir-butir nasi. Terpaksa.
Kadang aku berpikir mengapa orang-orang begitu mencintai dunia yang begitu menyakitkan ini. Berlomba-lomba menjadi orang ternama padahal kebutuhan mereka tak hanya sekedar nama. Ada yang lebih penting dari sekedar nama, yaitu sebuah kepedulian berbagi.
Siang ini cukup terik matahari menyambar tubuhku, ah aku sudah bersahabat dengan matahari. Walaupun terkadang begitu hebatnya ia membakar lapisan-lapisan kulitku sehingga menjadi hitam legam seperti ini. Apa peduliku terhadap hal itu.
“Den, ayo ambil gitarmu”
“Ah apa kau tak bosan bermain-main dengan gitarmu itu?”
“Bagaimana bisa bosan jika hanya dengan alat ini aku bisa mengisi perutku?”
“Hidupmu hanya sekedar makan saja tong”
“Kalau tak makan kau tak akan bisa hidup den”
“Tapi cita-cita lebih penting daripada sekedar mengisi perut”
“Apa pentingnya cita-cita? Kau lihat? Orang-orang digedung megah itu pun tak pernah sekali saja memikirkan cita-cita. Mereka hanya peduli dengan perutnya”
“yasudah sudah pergi kau sana, biarkan aku disini seorang diri”
“Dasar pemuda malas, pantas saja Ratu meninggalkanmu”
“Hey kau, jaga bicaramu. Justru karena aku tak sepertimu yang hanya mengandalkan gitar usangmu itu”
Berjalan ku menyusuri lembah-lembah kenistaan ini. Tak dapat sedikitpun aku mendapat jawaban atas segala pertanyaanku tentang orang-orang diatas gedung megah itu. Aku hanya bisa melihat tanpa sedikitpun membayangkan menjadi seperti mereka. Kotor. Pengkhianat. Pecundang. Pendusta. Adakah yang lebih biadab dari kata dusta?
***
“Ingat cu, seorang pemimpin pernah berkata begini Berilah aku sebuah pisang dengan sedikit simpati yang keluar dari lubukhatimu, tentu aku akan mencintaimu untuk selamalamanya. Akan tetapi berilah aku seribu juta dollar dan disaat itu pula engkau tampar mukaku dihadapan umum, maka sekalipun ini nyawa tantangannya aku akan berkata kepadamu, "Persetan !"
“Maksudnya apa kek?”
Sembari memijat punggung kakek yang sudah tak lagi kuat menopang beban kehidupan aku mendengarkan setiap ocehan-ocehannya.
“Aku tak yakin dewasa kelak kau akan mampu bertahan hidup Raden”
“Aku semakin tak mengerti kek”
“kelak kau akan mengetahuinya, nak. Jangan pernah jadikan uang sebagai tolak ukur dalam hidupmu.”
Aku hanya manut-manut saja dengan wejangan-wejangan yang kakek berikan.
***
Persetan dengan wanita. Tak mampu lagi aku mempercayainya. Makhluk aneh itulah yang telah menyeretku pada lembah kenistaan ini. Kembali aku berpikir bahwa hidup tidak hanya sekedar nama. Tapi tanpa nama pun aku tak bisa hidup bahagia. Tolol, karena nama hidupmu jadi seperti ini.
Semua berkecamuk dalam pikiranku. Sungguh berisik.
”Kakek, aku merindukanmu.”
Aku baru mengerti mengapa dahulu kakek berbicara bahwa jangan pernah jadikan uang sebagai tolak ukur kehidupan.
“Tapi ketulusan pun bisa dibeli dengan uang, kek”
Terisak aku dalam gundukan yang penuh sampah ini. Berharap batu nisan yang saat ini dihadapanku berbicara.
***
“maafkan aku, karena keadaan ekonomi memaksaku untuk melakukan ini”
Wajahnya memerah dan sayu. Ia hanya mampu untuk menunduk tanpa sedikit pun melihat sorot mataku yang tajam. Membara amarah dalam hatiku ini.
“lalu apa arti cinta dalam hatimu itu Ratu? Apakah kemiskinan telah mampu mengikis rasa cinta dalam dadamu?”
“aku mengerti perasaanmu. Maka dari itu aku memberanikan diri untuk berbicara padamu Raden. Bukan karena aku tak mencintaimu, tapi…”
Plaakkk…
Tak sempat wanita yang aku cintai ini meneruskan bicaranya, tanganku telah melayang pas mengenai pipinya yang merona. Aku tak kuasa menahan amarahku.
***

“kek, apa aku harus tetap percaya pada kata cinta? Sedangkan ia telah menggores luka pada hidupku? Kek, jawab pertanyaanku. Apa didalam sana kau sedang menderita sehingga tak mampu lagi memberikanku wejangan-wejangan seperti ketika aku kecil dulu? Dulu kau bercerita begitu indah tentang makna cinta, tentang kisah cintamu yang abadi bersama nenek. Tapi 5 tahun berlalu dan aku tetap terjerat dalam tali cinta Ratu yang menikam hatiku ini. Apakah cinta hanya berlaku untuk orang-orang ternama diatas sana? Apakah cinta tak berlaku untuk pemuda miskin sepertiku? yang hanya mampu mencari rupiah dengan gitar buluk di terminal angkutan kota”
“sekali pun berbusa mulutmu, tak akan sedikitpun suara terdengar dari nisan berbatu itu. Apa kau akan tetap memandang pada satu arah Raden? Sehingga tak mampu nuranimu merasakan cinta yang tulus sedang menantimu”
Seketika aku tersentak dengan suara lembut seorang wanita.
“Darimana kau mengetahui aku sedang berada disini Putri?”
“Masihkah pertanyaan itu layak untuk aku jawab, sedangkan berhari-hari tak sedikitpun waktuku terlewati untuk bisa mengamatimu”
“Kau begitu baik hati putri, apa yang menarik dari diriku? Tak ada. Aku hanya pemuda miskin yang tidak layak untuk dicintai”
“jika kemiskinan sudah mengambil semua kebahagiaan hidup, tak bisakah cinta menjadi sedikit pemanis dalam hidup?”
Mataku menatap tajam mata putri. Kami saling berpandangan dalam waktu yang lama.
“Temani aku dalam kemiskinan ini Putri”
“Kemiskinan bukan menjadi alasan untuk aku meninggalkanmu Raden, aku tak perlu alasan untuk bisa mencintaimu”
Kecupku sederhana dikening Putri. Ratu tidak lagi menjadi Ratu dalam hatiku. Tapi sekarang Putri adalah Ratu dihatiku.

2 komentar: