Keadaan Psikis Mampu
Mengubah Keadaan Sosial
Kehidupan pada hakikatnya adalah sebuah perjalanan panjang
menuju keabadian. Rentang waktu yang tak begitu lama jika manusia bisa
menikmati hidupnya dengan bahagia. Namun realitanya tak semua manusia dapat
menempuh kehidupan seperti apa yang dikehendakinya. Kebahagiaan pun begitu
relatif. Tergantung pada bagaimana manusia tersebut memandang kehidupan.
Adakalanya kemiskinan pun menjadi sebuah kebahagiaan. Terkadang karena pahitnya
kehidupan, seseorang menjadi murka akan hidupnya dan begitu bertekad untuk bisa
menjadi bahagia. Begitulah sekilas gambaran tentang novel karya Pramoedya
Ananta Toer yang berjudul Sekali
Peristiwa di Banten Selatan. Menggambarkan sebuah daerah dipelosok Banten
Selatan. Novel yang lebih mirip dengan naskah drama ini merupakan novel yang
benar-benar membuat hasrat penasaran saya muncul kembali untuk mengorek-ngorek
kehidupan sosial masyarakat di Banten Selatan pada masa itu. Lebih tepatnya
ketika terjadinya pemberontakan oleh kelompok politik Darul Islam yang begitu
membuat rakyat sengsara dan tertindas.
Tokoh Ranta merupakan salah satu tokoh yang digambarkan oleh
Pramoedya sebagai salah satu masyarakat yang pada saat itu harus menuruti
apapun yang diperintahkan oleh Juragan Musa, yang pada akhirnya diketahui
adalah anggota dari kelompok Darul Islam.
Kehidupan Ranta bisa dibilang begitu penuh penderitaan, begitu pun
dengan masyarakat yang sama di kampungnya pada saat itu. Keadaan kampung yang
saat itu selalu dipenuhi rasa ketakutan.
Ya, kapan?
Dulu kita diuber-uber lurah, tuan besar administratur, rodi, wajib desa. Kita
tak sempat cari penghidupan layak. Zaman Jepang apa? Romusha sampai kurus
kering, sampai mampus. Zaman Nica apa? Lagi-lagi diuber-uber kena rodi,
ditembaki saban hari. Sekarang apa? Diuber-uber DI. Itu belum lagi. Kawan-kawan
kita sendiri sekarang sudah sama
meningkat jadi juragan……” (Hal 28)
“sakit? Tentu saja sakit. Tapi itu tidak
penting. Kita hidup dalam kesakitan melulu. Kalau bukan daging yang sakit, ya
hati. Kesakitan melulu!” (Hal 29)
Cuplikan diatas menggambarkan penderitaan yang dialami oleh
rakyat Banten Selatan pada saat itu. Padahal kita ketahui bahwa pada saat itu
Indonesia telah merdeka dan diakui kedaulatannya, akan tetapi bendera
penindasan masih banyak berkibar di kalangan masyarakat, salah satunya ujung
selatan Banten.
Penderitaan psikis dan fisik yang dialami oleh tokoh Ranta
dan proses interaksi sosialnya dengan beberapa orang yang mengalami penderitaan
yang sama dengan Ranta membuat egonya berpikir, bahwa kebenaran memang akan
membawa pada kemenangan tapi tidak dengan berdiam diri dan pasrah pada keadaan.
“Dimana-mana
sama saja. Dimana-mana aku selalu dengar: Yang benar juga akhirnya yang menang.
Itu benar. Benar sekali. Tapi kapan? Kebenaran tidak datang dari langit, dia
mesti diperjuangkan untuk menjadi benar…......” (Hal 77)
Keadaan sosial Banten Selatan pada saat itu yang memang
dihantui oleh perasaan takut dan was-was karena penindasan yang terjadi
akhirnya bisa berubah karena kemauan dan keyakinan yang kuat. Tokoh Ranta yang
merasa diinjak-injak akhirnya memberanikan diri untuk melawan Juragan Musa.
Akibat keadaan jiwanya yang tersiksa dan dorongan kuat dari istri serta rakyat
yang mengalami penderitaan yang sama, Ranta berkeyakinan kuat untuk mengubah
keadaan kampung tersebut agar tidak lagi
dipenuhi oleh para pengacau. Pada akhirnya Ranta mampu menjadikan kampungnya
tersebut aman dari para penindas dan pengacau.
Berbicara Persatuan Berbicara
Kesejahteraan
Dalam Novel Sekali
Peristiwa di Banten Selatan Pramoedya mencoba mengangkat sebuah hal yang
menarik untuk diperbincangkan, yaitu tentang persatuan. Sejarah mencatat
beberapa kali bangsa Indonesia menang melawan penjajahan dengan senjata
persatuan. Bukan dengan pistol ataupun bambu runcing, tapi dengan persatuan.
Apakah sepakat jika saya bicara bahwa Banten saat ini masih
penuh dengan penindasan? Kita bandingkan keadaan sosial Banten Selatan yang
digambarkan oleh Pramoedya dalam novelnya tersebut dengan keadaan Banten saat
ini. Dalam novelnya, Pramoedya menggambarkan keadaan sosial masyarakat Banten
Selatan pada saat itu amat tertindas. Masyarakat menjadi korban akan permainan
politik dari kelompok politik Darul Islam yang kejam. Dan saat ini, di era
reformasi seperti sekarang pun masih ada bahkan banyak masyarakat yang menjadi
korban permainan politik dari kalangan politik yang mementingkan pribadinya
sendiri, khususnya di Banten.
Kita lihat, budaya gotong royong yang semakin memudar
ternyata dapat menjadi tolak ukur untuk kesejahteraan sebuah daerah. Banten
telah kehilangan budaya tersebut, satu sisi ada yang hidup mewah dan sejahtera
tapi disisi lain tak sedikit yang harus merintih memegangi perutnya karena
merasa lapar. Dalam Novelnya tersebut Pramoedya mencoba kembali mengajak
masyarakat (pembaca) untuk kembali pada budaya gotong royong, budaya persatuan.
Dengan begitu tidak akan ada lagi, pihak yang menjadi binatang buas seperti
dalam novelnya Pramoedya tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar