Jumat, 23 Mei 2014

Keadaan Psikologi tokoh Ranta dan Kaitannya dengan Potret Sosial Banten Dahulu dalam Cerpen Sekali Peristiwa di Banten Selatan dengan Realita Sosial di Masa Kini



Keadaan Psikis Mampu Mengubah Keadaan Sosial
Kehidupan pada hakikatnya adalah sebuah perjalanan panjang menuju keabadian. Rentang waktu yang tak begitu lama jika manusia bisa menikmati hidupnya dengan bahagia. Namun realitanya tak semua manusia dapat menempuh kehidupan seperti apa yang dikehendakinya. Kebahagiaan pun begitu relatif. Tergantung pada bagaimana manusia tersebut memandang kehidupan. Adakalanya kemiskinan pun menjadi sebuah kebahagiaan. Terkadang karena pahitnya kehidupan, seseorang menjadi murka akan hidupnya dan begitu bertekad untuk bisa menjadi bahagia. Begitulah sekilas gambaran tentang novel karya Pramoedya Ananta Toer yang berjudul Sekali Peristiwa di Banten Selatan. Menggambarkan sebuah daerah dipelosok Banten Selatan. Novel yang lebih mirip dengan naskah drama ini merupakan novel yang benar-benar membuat hasrat penasaran saya muncul kembali untuk mengorek-ngorek kehidupan sosial masyarakat di Banten Selatan pada masa itu. Lebih tepatnya ketika terjadinya pemberontakan oleh kelompok politik Darul Islam yang begitu membuat rakyat sengsara dan tertindas.
Tokoh Ranta merupakan salah satu tokoh yang digambarkan oleh Pramoedya sebagai salah satu masyarakat yang pada saat itu harus menuruti apapun yang diperintahkan oleh Juragan Musa, yang pada akhirnya diketahui adalah anggota dari kelompok Darul Islam.  Kehidupan Ranta bisa dibilang begitu penuh penderitaan, begitu pun dengan masyarakat yang sama di kampungnya pada saat itu. Keadaan kampung yang saat itu selalu dipenuhi rasa ketakutan.
Ya, kapan? Dulu kita diuber-uber lurah, tuan besar administratur, rodi, wajib desa. Kita tak sempat cari penghidupan layak. Zaman Jepang apa? Romusha sampai kurus kering, sampai mampus. Zaman Nica apa? Lagi-lagi diuber-uber kena rodi, ditembaki saban hari. Sekarang apa? Diuber-uber DI. Itu belum lagi. Kawan-kawan kita sendiri  sekarang sudah sama meningkat jadi juragan……” (Hal 28)
 “sakit? Tentu saja sakit. Tapi itu tidak penting. Kita hidup dalam kesakitan melulu. Kalau bukan daging yang sakit, ya hati. Kesakitan melulu!” (Hal 29)
Cuplikan diatas menggambarkan penderitaan yang dialami oleh rakyat Banten Selatan pada saat itu. Padahal kita ketahui bahwa pada saat itu Indonesia telah merdeka dan diakui kedaulatannya, akan tetapi bendera penindasan masih banyak berkibar di kalangan masyarakat, salah satunya ujung selatan Banten.
Penderitaan psikis dan fisik yang dialami oleh tokoh Ranta dan proses interaksi sosialnya dengan beberapa orang yang mengalami penderitaan yang sama dengan Ranta membuat egonya berpikir, bahwa kebenaran memang akan membawa pada kemenangan tapi tidak dengan berdiam diri dan pasrah pada keadaan.
“Dimana-mana sama saja. Dimana-mana aku selalu dengar: Yang benar juga akhirnya yang menang. Itu benar. Benar sekali. Tapi kapan? Kebenaran tidak datang dari langit, dia mesti diperjuangkan untuk menjadi benar…......” (Hal 77)
Keadaan sosial Banten Selatan pada saat itu yang memang dihantui oleh perasaan takut dan was-was karena penindasan yang terjadi akhirnya bisa berubah karena kemauan dan keyakinan yang kuat. Tokoh Ranta yang merasa diinjak-injak akhirnya memberanikan diri untuk melawan Juragan Musa. Akibat keadaan jiwanya yang tersiksa dan dorongan kuat dari istri serta rakyat yang mengalami penderitaan yang sama, Ranta berkeyakinan kuat untuk mengubah keadaan kampung tersebut  agar tidak lagi dipenuhi oleh para pengacau. Pada akhirnya Ranta mampu menjadikan kampungnya tersebut aman dari para penindas dan pengacau.

Berbicara Persatuan Berbicara Kesejahteraan
            Dalam Novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan Pramoedya mencoba mengangkat sebuah hal yang menarik untuk diperbincangkan, yaitu tentang persatuan. Sejarah mencatat beberapa kali bangsa Indonesia menang melawan penjajahan dengan senjata persatuan. Bukan dengan pistol ataupun bambu runcing, tapi dengan persatuan.
Apakah sepakat jika saya bicara bahwa Banten saat ini masih penuh dengan penindasan? Kita bandingkan keadaan sosial Banten Selatan yang digambarkan oleh Pramoedya dalam novelnya tersebut dengan keadaan Banten saat ini. Dalam novelnya, Pramoedya menggambarkan keadaan sosial masyarakat Banten Selatan pada saat itu amat tertindas. Masyarakat menjadi korban akan permainan politik dari kelompok politik Darul Islam yang kejam. Dan saat ini, di era reformasi seperti sekarang pun masih ada bahkan banyak masyarakat yang menjadi korban permainan politik dari kalangan politik yang mementingkan pribadinya sendiri, khususnya di Banten.
Kita lihat, budaya gotong royong yang semakin memudar ternyata dapat menjadi tolak ukur untuk kesejahteraan sebuah daerah. Banten telah kehilangan budaya tersebut, satu sisi ada yang hidup mewah dan sejahtera tapi disisi lain tak sedikit yang harus merintih memegangi perutnya karena merasa lapar. Dalam Novelnya tersebut Pramoedya mencoba kembali mengajak masyarakat (pembaca) untuk kembali pada budaya gotong royong, budaya persatuan. Dengan begitu tidak akan ada lagi, pihak yang menjadi binatang buas seperti dalam novelnya Pramoedya tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar