Sangat miris melihat
banyak sekali berita-berita ataupun artike-artikel dikoran, televisi, maupun di
media sosial tentang problematika remaja di Indonesia yang sangat
mengkhawatirkan. Teknologi bukan lagi barang yang langka dan sulit untuk
diakses, kecanggihan teknologi memiliki sisi negative yang begitu terasa
khususnya pada perkembangan remaja. Banyak sekali kalangan remaja yang
menyalahgunakan kecanggihan teknologi untuk hal-hal yang tidak seharusnya.
Tidak sedikit remaja Indonesia yang jatuh kedalam jurang penderitaan karena
tidak dapat memfilter budaya-budaya barat yang dilihatnya. Alhasil kecanggihan
teknologi malah menimbulkan dampak negative yang serius untuk perkembangan pergaulan
remaja. Padahal yang kita ketahui bahwa negara yang maju adalah negara yang
memiliki banyak pemuda yang cerdas dan produktif. Keadaan suatu negara dapat
dilihat dari kondisi pemudanya.
Lalu dimanakah letak
kesalahan itu? Faktor apa yang menyebabkan remaja-remaja Indonesia khususnya
pelajar mengalami dekadensi moral? Dalam bukunya Muhibbin Syah (2010 : 47)
menjelaskan faktor yang mempengaruhi tinggi-rendahnya mutu hasil perkembangan
siswa pada dasarnya terdiri atas dua macam, pertama faktor internal, yaitu
faktor yang ada dalam diri siswa itu sendiri yang meliputi pembawaan dan
potensi psikologis tertentu yang turut mengembangkan dirinya sendiri. Kedua,
faktor eksternal, yaitu hal-hal yang datang atau ada di luar diri siswa yang
meliputi lingkungan (khususnya pendidikan) dan pengalaman berinteraksi siswa
tersebut dengan lingkungannya.
Dapat kita lihat
kenakalan remaja di masa kini, gaya hidup bebas seperti hedonis, rokok, narkoba
hingga seks bebas telah meruntuhkan moral anak-anak negeri. Tentu saja hal ini
dapat kita lihat dari dua faktor tadi, yaitu internal dan eksternal. Pertama
internal, yaitu tugas dan fase perkembangan yang dialami oleh remaja yang
secara tidak langsung berkaitan dengan perkembangan proses pendewasaan dirinya.
Menurut Muhibbin Syah (2010 : 51) masa perkembangan remaja yang panjang ini
dikenal sebagai masa yang penuh kesukaran dan persoalan, bukan saja bagi si
remaja sendiri melainkan juga bagi para orangtua, guru, dan masyarakat sekitar.
Bahkan, tak jarang para penegak hukum pun turut direpotkan oleh ulah dan tindak
tanduknya yang dipandang menyimpang. Mengapa demikian? Secara singkat
jawabannya ialah karena individu remaja sedang berada dipersimpangan jalan
antara dunia anak-anak dan dunia dewasa.
Faktor eksternal pun
ternyata turut mempengarungi perkembangan remaja, selain faktor internal. Pada
hakikatnya memang seorang anak terlahir dalam keadaan suci dan bersih, tetapi
dalam prosesnya bisa saja berkembang ke arah yang baik atau bahkan sebaliknya.
Dalam hal ini lingkungan lah yang akan membentuknya. Dengan siapa dia
berkomunikasi. Dengan siapa dia berinteraksi.
Teknologi yang disertai
kebebasan dan tanpa adanya pendidikan yang baik dan tepat maka yang dihasilkan
hanyalah kehancuran. Lagi-lagi faktor eksternal yaitu diantaranya pendidikan
sangatlah penting dalam mencegah remaja agar tidak terjun kedalam jurang
kenistaan. Menurut pengamatan para ahli, setiap anak biasanya mengalami dua
masa pancaroba atau krisis yang lazim disebut ”trotz”. Masa “trotz” ini
terjadi dua periode, trotz periode
ke-1 dan trotz periode ke-2. Trotz periode ke-1 terjadi pada usia 2
sampai 3 tahun dengan ciri utama anak menjadi egois, selalu bersikap dan
bertingkah laku mendahulukan kepentingan diri sendiri. Trotz periode ke-2 terjadi pada umur antara 14 sampai 17 tahun,
dengan ciri utama sering membantah orangtuanya sendiri dalam mencapai identitas
diri. (Muhibbin Syah 2010: 57).
Orangtua merupakan
orang yang terdekat dengan anak-anaknya, peran orangtua tidak bisa dipungkiri
akan menentukan perkembangan si anak. Namun pada kenyataannya saat ini, peran
orangtua justru malah diabaikan. Sangat sedikit
sekali orangtua yang memperhatikan perkembangan anaknya. Mereka secara tidak
sadar telah sepenuhnya menyerahkan tugas mereka sebagai orangtua kepada
lingkungan pendidikan, dalam hal ini adalah sekolah. Tidak salah, karena memang
pada dasarnya lembaga pendidikan pun turut berperan serta dalam pembentukan
perkembangan remaja. Akan tetapi tidak melepaskan peran orangtua yang secara
nyata sangat penting sebagai orang yang memang dekat dengan si individu
tersebut.
Ini lah sebenarnya yang
membuat dekadensi moral para pemuda, khususnya pelajar. Dapat kita lihat
porsetase problematika remaja saat ini. Sangat menyayat hati. Berdasarkan hasil survei Komnas
Perlindungan Anak bekerja sama dengan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) di 12
provinsi pada 2007 diperoleh pengakuan remaja bahwa sebanyak 93,7% anak SMP dan
SMU pernah melakukan ciuman, petting, dan oral seks, 62,7% anak SMP mengaku sudah
tidak perawan, 21,2% remaja SMA mengaku pernah melakukan aborsi. Dari 2 juta
wanita Indonesia yang pernah melakukan aborsi, 1 juta adalah remaja. Sebanyak
97% pelajar SMP dan SMA mengaku suka menonton film porno.
Kita kembali lagi bahwa
faktor yang menentukan perkembangan remaja yaitu dari dirinya sendiri dan dari
lingkungannya. Semua problematika yang terjadi pada para pelajar Indonesia
sudah jelas karena 2 faktor tersebut. Namun yang mendominasi adalah faktor
lingkungan dimana individu tersebut berada. Masihkah kita rela anak-anak negeri
menjadi rusak? Parahnya problematika ini dari tahun ke tahun semakin meningkat.
Serendah itukah kepedulian para orangtua dan perangkat-perangkat negara melihat
kondisi remaja Indonesia yang semakin memburuk ini. Sudah saatnya negeri ini
kembali menjadi negeri yang melahirkan para penggagas yang unggul. Seperti
layaknya para pejuang-pejuang negeri ini terdahulu yang mengorbankan jiwa
bahkan raganya untuk kemajuan negeri ini.
Orangtua bagaimanapun
memiliki peran yang sangat penting dalam perkembangan anak-anaknya, karena
orangtua berperan sebagai pihak yang memantau pergaulan anak-anaknya disamping
lingkungan pendidikan dan lingkungan pergaulan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar