Sabtu, 17 Mei 2014

Peran Lingkungan dan Orangtua dalam Pergaulan Remaja



Sangat miris melihat banyak sekali berita-berita ataupun artike-artikel dikoran, televisi, maupun di media sosial tentang problematika remaja di Indonesia yang sangat mengkhawatirkan. Teknologi bukan lagi barang yang langka dan sulit untuk diakses, kecanggihan teknologi memiliki sisi negative yang begitu terasa khususnya pada perkembangan remaja. Banyak sekali kalangan remaja yang menyalahgunakan kecanggihan teknologi untuk hal-hal yang tidak seharusnya. Tidak sedikit remaja Indonesia yang jatuh kedalam jurang penderitaan karena tidak dapat memfilter budaya-budaya barat yang dilihatnya. Alhasil kecanggihan teknologi malah menimbulkan dampak negative yang serius untuk perkembangan pergaulan remaja. Padahal yang kita ketahui bahwa negara yang maju adalah negara yang memiliki banyak pemuda yang cerdas dan produktif. Keadaan suatu negara dapat dilihat dari kondisi pemudanya.
Lalu dimanakah letak kesalahan itu? Faktor apa yang menyebabkan remaja-remaja Indonesia khususnya pelajar mengalami dekadensi moral? Dalam bukunya Muhibbin Syah (2010 : 47) menjelaskan faktor yang mempengaruhi tinggi-rendahnya mutu hasil perkembangan siswa pada dasarnya terdiri atas dua macam, pertama faktor internal, yaitu faktor yang ada dalam diri siswa itu sendiri yang meliputi pembawaan dan potensi psikologis tertentu yang turut mengembangkan dirinya sendiri. Kedua, faktor eksternal, yaitu hal-hal yang datang atau ada di luar diri siswa yang meliputi lingkungan (khususnya pendidikan) dan pengalaman berinteraksi siswa tersebut dengan lingkungannya.
Dapat kita lihat kenakalan remaja di masa kini, gaya hidup bebas seperti hedonis, rokok, narkoba hingga seks bebas telah meruntuhkan moral anak-anak negeri. Tentu saja hal ini dapat kita lihat dari dua faktor tadi, yaitu internal dan eksternal. Pertama internal, yaitu tugas dan fase perkembangan yang dialami oleh remaja yang secara tidak langsung berkaitan dengan perkembangan proses pendewasaan dirinya. Menurut Muhibbin Syah (2010 : 51) masa perkembangan remaja yang panjang ini dikenal sebagai masa yang penuh kesukaran dan persoalan, bukan saja bagi si remaja sendiri melainkan juga bagi para orangtua, guru, dan masyarakat sekitar. Bahkan, tak jarang para penegak hukum pun turut direpotkan oleh ulah dan tindak tanduknya yang dipandang menyimpang. Mengapa demikian? Secara singkat jawabannya ialah karena individu remaja sedang berada dipersimpangan jalan antara dunia anak-anak dan dunia dewasa.
Faktor eksternal pun ternyata turut mempengarungi perkembangan remaja, selain faktor internal. Pada hakikatnya memang seorang anak terlahir dalam keadaan suci dan bersih, tetapi dalam prosesnya bisa saja berkembang ke arah yang baik atau bahkan sebaliknya. Dalam hal ini lingkungan lah yang akan membentuknya. Dengan siapa dia berkomunikasi. Dengan siapa dia berinteraksi.
Teknologi yang disertai kebebasan dan tanpa adanya pendidikan yang baik dan tepat maka yang dihasilkan hanyalah kehancuran. Lagi-lagi faktor eksternal yaitu diantaranya pendidikan sangatlah penting dalam mencegah remaja agar tidak terjun kedalam jurang kenistaan. Menurut pengamatan para ahli, setiap anak biasanya mengalami dua masa pancaroba atau krisis yang lazim disebut ”trotz”. Masa “trotz” ini terjadi dua periode, trotz periode ke-1 dan trotz periode ke-2. Trotz periode ke-1 terjadi pada usia 2 sampai 3 tahun dengan ciri utama anak menjadi egois, selalu bersikap dan bertingkah laku mendahulukan kepentingan diri sendiri. Trotz periode ke-2 terjadi pada umur antara 14 sampai 17 tahun, dengan ciri utama sering membantah orangtuanya sendiri dalam mencapai identitas diri. (Muhibbin Syah 2010: 57).
Orangtua merupakan orang yang terdekat dengan anak-anaknya, peran orangtua tidak bisa dipungkiri akan menentukan perkembangan si anak. Namun pada kenyataannya saat ini, peran orangtua  justru malah diabaikan. Sangat sedikit sekali orangtua yang memperhatikan perkembangan anaknya. Mereka secara tidak sadar telah sepenuhnya menyerahkan tugas mereka sebagai orangtua kepada lingkungan pendidikan, dalam hal ini adalah sekolah. Tidak salah, karena memang pada dasarnya lembaga pendidikan pun turut berperan serta dalam pembentukan perkembangan remaja. Akan tetapi tidak melepaskan peran orangtua yang secara nyata sangat penting sebagai orang yang memang dekat dengan si individu tersebut.
Ini lah sebenarnya yang membuat dekadensi moral para pemuda, khususnya pelajar. Dapat kita lihat porsetase problematika remaja saat ini. Sangat menyayat hati. Berdasarkan hasil survei Komnas Perlindungan Anak bekerja sama dengan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) di 12 provinsi pada 2007 diperoleh pengakuan remaja bahwa sebanyak 93,7% anak SMP dan SMU pernah melakukan ciuman, petting, dan oral seks, 62,7% anak SMP mengaku sudah tidak perawan, 21,2% remaja SMA mengaku pernah melakukan aborsi. Dari 2 juta wanita Indonesia yang pernah melakukan aborsi, 1 juta adalah remaja. Sebanyak 97% pelajar SMP dan SMA mengaku suka menonton film porno.
Kita kembali lagi bahwa faktor yang menentukan perkembangan remaja yaitu dari dirinya sendiri dan dari lingkungannya. Semua problematika yang terjadi pada para pelajar Indonesia sudah jelas karena 2 faktor tersebut. Namun yang mendominasi adalah faktor lingkungan dimana individu tersebut berada. Masihkah kita rela anak-anak negeri menjadi rusak? Parahnya problematika ini dari tahun ke tahun semakin meningkat. Serendah itukah kepedulian para orangtua dan perangkat-perangkat negara melihat kondisi remaja Indonesia yang semakin memburuk ini. Sudah saatnya negeri ini kembali menjadi negeri yang melahirkan para penggagas yang unggul. Seperti layaknya para pejuang-pejuang negeri ini terdahulu yang mengorbankan jiwa bahkan raganya untuk kemajuan negeri ini.
Orangtua bagaimanapun memiliki peran yang sangat penting dalam perkembangan anak-anaknya, karena orangtua berperan sebagai pihak yang memantau pergaulan anak-anaknya disamping lingkungan pendidikan dan lingkungan pergaulan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar