Kembali
mengingat kenyataan bahwa aku memang mahasiswa yang kuliah di pelosok Banten,
ya aku menyebutnya pelosok Banten. Satu-satunya perguruan tinggi negeri di
provinsi Banten. Provinsi dengan gubernur seorang wanita, satu-satunya gubernur
wanita di Indonesia. Seorang pemimpin dengan usia paruh baya memimpin provinsi
yang masih remaja.
Pagi
ini lagi-lagi pemandangan tak sedap tersapu oleh mata bundarku. Setumpukan
sampah persis disamping gedung kuliahku. Melesat sedikit terlihat hiruk pikuk
lingkungan terminal dengan banyak kendaraan-kendaraan dari mulai angkot hingga
bus kota.
“eh
nanti sore rapat yah? Dapet jarkoman ga?”
“Iya..
di aula PKM kan?”
Salah
satu teman dikelas membuka obrolan dipagi menjelang siang ini. Jam terlihat
sudah pukul 09.45 Wib, 15 menit lagi perkuliahan akan segera dimulai. Sejak 10
menit yang lalu aku tetap duduk sembari sesekali melihat pemandangan yang tak
menyejukkan mata. Kelopak mataku sangat tidak bersahabat hari ini. Ada sedikit
rasa sakit yang menyebar disekujur tubuhku. Lelah. Sudah hampir sebulan aku
menjadi pengurus disalah satu organisasi kemahasiswaan dikampus. Bukan dorongan
hati, tetapi suatu kewajiban. Jadi kalangan minoritas yang seolah asing.
Padahal kami memiliki keyakinan dan kepercayaan yang sama. Ya Rabb. Kuatkanlah aku.
***
Kakiku
melangkah melewati gedung-gedung perkuliahan, kali ini matahari sudah
menyerahkan tugasnya kepada sang rembulan. Ada sedikit luka pada bagian kecil
dalam tubuhku. Sekeping kecil ciptaan Allah yang memiliki pengaruh besar untuk
hidup dan kehidupanku. Ya rasanya hati ini seperti tak mampu menahan
cabikan-cabikan itu. Aku berjalan dengan pandangan kabur dan ujung kaki yang
menahan sakit. Tak kusadari ada sesuatu yang hampir pecah. Berkaca-kaca. Lalu perlahan
mengalir membasahi pipiku.
Dasar cengeng. Pantaskah kamu
mengeluh dalam membela agama Allah? Tidak ingat dengan apa yang telah Allah
janjikan kelak? Ada atau tidaknya kamu di jalan dakwah ini, dakwah ini akan
tetap diperjuangkan. Jika seperti ini saja kamu sudah mengeluh? Bagaimana akan
menjadi seorang pemimpin untuk negeri yang gersang ini.
Tak
terasa aku berjalan hampir 10 menit.
“yan,
baru pulang? Udah makan belum? Linda udah masak nasi tuh”
“iya
ni nda, biasa abis rapat. Mau mandi dulu lah”
Alhamdulillah
aku memiliki teman kost yang begitu ramah dan perhatian padaku.
Setelah
selesai salat isya, langsung kuhempaskan tubuh yang ringkih ini diatas kasur
busa yang lepek, kasur yang tak jauh beda dengan alas-alas tidur para pengemis
disudut-sudut jalanan. Ya setidaknya diriku lebih beruntung dari para pengemis
itu. Maka tak pantas bagiku untuk lagi-lagi mengeluh dan mengeluh. Mataku
terpejam, sudah tak sanggup lagi untuk bekerja. Lelah. Akan tetapi pikiranku
mulai berjalan-jalan, menyusuri tapak-tapak perjalanan dakwah ini. Hal apa
sebenarnya yang membuatku tertarik untuk masuk dalam lingkaran aktivis KAMMI?
Padahal banyak orang yang mencaci, melecehkan, bahkan mengatakan sesat. Tapi
ada satu hal yang mereka tidak mengetahuinya. Ada rasa nyaman tersendiri dalam
hati ketika aku bergabung bersama KAMMI. Aku tidak mendapatkan itu dalam
organisasi mana pun. Ukhuwah yang erat, rasa cinta yang tumbuh dan berkembang
karena Allah. Bukan. Bukan itu. Bukan KAMMI. Ya bukan KAMMI. Tetapi manisnya
Islam yang kudapati di KAMMI. Itulah yang membuatku cinta dengan KAMMI.
Renunganku
malam ini membawaku terbang ke alam mimpi. Mimpi dengan logika manusia yang tak
akan pernah sampai, terlebih untuk tanah airku tercinta dengan gelar negeri
yang paling terkorup didunia, tapi aku yakin bahwa Allah pasti memiliki cara
untuk mengabulkan itu semua. Bermimpi hidup di negeri yang memiliki suasana
lingkungan yang nyaman, sejahtera, dan tak akan kulihat lagi tumpukan-tumpukan
sampah disamping gedung kuliahku. Mimpi anak-anak itu. Anak-anak yang pintar
dan cerdas tapi hak mereka untuk merasakan duduk dikursi dalam ruangan yang
dihiasi gambar presiden, wakil presiden, burung garuda, papan tulis, putihnya
kapur, dan dibina oleh guru yang ramah nan baik hati itu hanya sekedar mimpi.
***
Pagiii..
kunikmati pagi yang merona ini di pelataran kampus tercinta. Burung-burung
mengedipkan matanya genit. Dedaunan tua menjadi indah bersamaan dengan tiupan
angin yang tak begitu kencang. Seolah terlukis pada awan yang putih itu
wajah-wajah berseri penuh cinta. Tanpa sadar ada sebersit rindu dalam dada ini.
Rindu pada kebersamaan yang ada di KAMMI. Ya akhir-akhir ini aku terlalu sibuk
dengan urusan-urusan lain. Begitu pula dengan mereka. Ya Rabb. Perjuangan dakwah ini rasanya begitu berat, sampai-sampai
waktu untuk berjumpa dengan mereka saja sangat sedikit. Semoga kelak Engkau
ridhoi kami untuk masuk kedalam Jannah-Mu.
Hari kemarin kujadikan cambuk untuk memacu
semangat dakwahku. Cacian dan makian itu adalah bumbu, yang akan hambar jika
hilang keberadaannya. Istirahat itu cukup di surga saja, yang kelak telah Allah
janjikan pada hamba-hamba-Nya yang istiqomah balasan surga yang dibawahnya
mengalir sungai-sungai. Karena PERJUANGAN adalah KESABARAN yang tak ada
batasnya. J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar