Selasa, 13 Mei 2014

Potret Sosial dalam Masyarakat Theis dan Atheis serta Koflik Batin yang Dialami Tokoh Bernama Hasan dalam Novel Atheis

Potret Sosial Banten dan Bandung dengan Theis dan Atheis
Keberanekaragaman budaya di Indonesia merupakan suatu hal yang unik dan menarik untuk diperbincangkan. Indonesia adalah salah satu negara dengan bermacam-macam suku bangsa, bahasa, adat budaya, dan juga agama. Masyarakat Indonesia dapat hidup rukun dengan berbagai perbedaan dibawah payung nasionalisme yang kuat. Begitu pula dengan agama, masyarakat Indonesia terdiri atas beberapa jenis pemeluk agama. Mulai dari yang mayoritas pemeluk Islam hingga masyarakat pemeluk Kristen, Hindu, Budha, Katholik, Kong Hu Chu, dan sebagainya. Mereka yakin dan percaya bahwa Tuhan itu ada. Akan tetapi bagaimanakah dengan mereka yang tidak mempercayai bahwa Tuhan itu ada. Apakah mereka dapat bersatu pula dibawah bendera nasionalisme Indonesia?
Setelah membaca novel-lebih tepatnya roman- karangan Achdiat Karta Mihardja yang berjudul Atheis, saya tertarik untuk mengulas kehidupan sosial masyarakat yang percaya akan keberadaan Tuhan dan masyarakat yang tidak percaya akan keberadaan Tuhan. Walaupun di Indonesia sendiri mungkin golongan orang-orang yang tak beragama (atheis) sudah sedikit bahkan mungkin tidak ada, karena dalam undang-undang pun diharuskan bahwa warga negara Indonesia wajib memeluk suatu agama. Dalam novel ini tokoh Hasan yang notabenenya adalah seorang keturunan alim ulama yang dibesarkan dalam keluarga yang paham tentang Islam, ketika sudah dewasa harus dihadapkan pada kondisi sosial masyarakat-dalam hal ini temannya- yang memiliki ideologi marxisme, leninisme, nihilisme, bahkan atheisme.
Dalam novel atheis karya Achdiat ini, digambarkan kehidupan keluarga Hasan yang benar-benar mendidik Hasan dengan ilmu agama sejak Hasan kecil. Orangtua Hasan pun sampai mempelajari ilmu tarekat kepada seorang Kiyai di Banten. Betapa dalam novel ini Achdiat menggambarkan keluarga yang benar-benar mendalami ajaran agama Islam, yang saya garis bawahi adalah latar tempat yang dijadikan tempat belajar ilmu tarekat oleh kedua orangtua Hasan adalah Banten. Padahal kita ketahui bahwa tempat tinggal mereka di Bandung tetapi mereka sampai pergi ke Banten untuk mempelajari ilmu tarekat.
Nah, dari sini bisa kita ketahui bahwa pada masa itu masyarakat di Banten sudah terkenal dengan masyarakat yang kental akan kepercayaannya (Islam), mungkin sampai saat ini pun masih. Hasan yang juga mengikuti jejak kedua orangtuanya belajar mendalami ilmu tarekat di Banten. Dalam lingkungan yang serba terjaga ruhiyahnya. Banten menjadikan Hasan menjadi pemuda yang kokoh dan sangat berpegang teguh pada Islam.
Potret kehidupan Hasan yang sedari kecil dibesarkan dengan ajaran-ajaran Islam membuat Hasan tumbuh menjadi pemuda yang alim dan paham tentang Islam. Sosok Hasan yang memang sejak kecil sudah dikenalkan pada seramnya neraka dan indahnya kehidupan surga, membuat ia begitu semangat dalam melaksanakan ibadah-ibadahnya. Hasan hidup dalam lingkungan keluarga yang memang menjadikannya taat terhadap agama dan Tuhannya.
Awal cerita, novel ini masih biasa saja untuk dibaca. Akan tetapi semakin jauh saya membaca, semakin menguras pikiran saya untuk berpikir. Seperti perang ideologi. Sempat takut untuk meneruskan membaca novel ini, tetapi saya berpikir jika saya berhenti justru akan membuat praduga sementara yang tidak jelas dalam benak saya.  Penggambaran tokoh-tokoh seperi Rusli dan Kartini yang memiliki ideologi marxisme dan leninisme serta Anwar yang memiliki ideologi nihilisme begitu hebat mendobrak dinding pertahanan keyakinan Hasan.
Disini Achdiat mencoba menempatkan tokoh Hasan pada lingkungan sosial yang berbeda idelogi dengan ideologi yang Hasan anut. Bandung telah mengubah kehidupan Hasan 180 derajat. Dalam novel ini diceritakan bahwa Hasan yang terbiasa hidup dalam lingkungan keagamaan yang kuat harus dihadapkan pada orang-orang dan lingkungan yang memiliki cara pandang dan pemikiran yang ekstrim, yang mengesampingkan bahkan meniadakan Tuhan dalam kehidupannya. Hasan mengetahui bahwa keyakinan teman-temannya adalah salah dalam pandangannya, niat awal Hasan yang ingin mempengaruhi teman-temannya untuk kembali kepada Islam ternyata malah berujung petaka. Achdiat membuat cerita dalam novel ini begitu menarik, tokoh Hasan yang memiliki ideologi yang begitu kuat dengan ajaran Islamnya dapat terpengaruh oleh ideologi yang jelas-jelas bertolak belakang dengan ideologi dan kehidupan Hasan. Interaksi sosial yang terjadi antara tokoh Hasan dengan tokoh Rusli, Kartini, dan Anwar ternyata membuka mata kita bahwa proses interaksi sosial bisa berfungsi sebagai sugesti atau bersifat persuasif. Tak bisa kita pungkiri bahwa jika masyarakat theis dan atheis hidup berdampingan dalam satu payung nasionalisme maka akan ada salah satu diantara mereka yang tergerus, dalam artian terpengaruhi.
Konflik batin dalam tokoh Hasan
Jiwa merupakan salah satu unsur yang ada pada diri manusia. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata jiwa memiliki arti roh manusia (yang ada di tubuh dan menyebabkan seseorang hidup atau bernyawa. Jiwa juga diartikan sebagai seluruh kehidupan batin manusia yang terjadi dari perasaan, pikiran, angan-angan, dan sebagainya). Jiwa seseorang akan terlihat dan tercermin dari sikap atau tingkah lakunya.  
Menurut Dr. Singgih Dirgagunarsa, Psikologi adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia. Dalam hal ini, sikap dan tingkah laku manusia menjadi tolak ukur dalam melihat kepribadian seseorang. Menurut teori psikoanalitik Sigmund Freud, kepribadian terdiri dari tiga elemen. Ketiga unsur kepribadian itu dikenal sebagai id, ego dan superego yang bekerja sama untuk menciptakan perilaku manusia yang kompleks. Id adalah bagian kepribadian yang paling primitif (Robert D. Nye, 1992:16). Menurut Terry Eagleton (1988:176), ego adalah sesuatu yang mengundang rasa kasihan, yang genting sifatnya, terpukul oleh keadaan dunia luar, dimomok oleh cacian ganas super ego. Sementara, komponen yang ketiga adalah unsur super ego. Super ego merupakan satu kekuatan yang ada di dalam jiwa seseorang individu itu dan kekuatan yang mengontrol segala kehendaknya.
Dalam segi psikologi tokoh Hasan yang begitu pelik dengan konflik batin, saya pikir sangat cocok jika dianalisis dengan teori psikoanalitik Sigmund Freud. Banyak kejadian-kejadian yang benar-benar menguras pikiran Hasan tentang pemikiran-pemikiran temannya. Disatu sisi Hasan sangat ingin pergi dan meninggalkan mereka, tetapi disisi lain ada perasaan yang mencegahnya untuk terus tetap berinteraksi dengan meraka, yaitu perasaannya terhadap Kartini.
Konflik batin yang dirasakan oleh Hasan memuncak ketika Hasan mulai sering berkunjung kerumah Rusli dan mulai sering mendengarkan ujaran-ujaran Rusli tentang keberadaan Tuhan yang tidak ada tersebut. Teori-teori yang diucapkan oleh Rusli mulai menggoyahkan iman Hasan, terlebih oleh perempuan yang bernama Kartini itu. Waktu-waktu Hasan lebih banyak dihabiskannya dengan Kartini.
Suara hatiku yang mula-mula hanya sayup-sayup terdengar makin hari makin jelas. Suara bahwa aku mencintai Kartini, seperti pernah aku mencintai Rukmini dulu. (Hlm 112)
Jelas Id terlihat dari kutipan tersebut bahwa naluri Hasan sesungguhnya memang mencintai Kartini. Wanita yang nyaris sama persisi dengan Rukmini, kekasihnya dulu. Cinta selalu membuat siapa saja yang menikmatinya hanyut dalam keindahannya. Begitu pula Hasan, lelaki alim dah saleh bisa terlena oleh cintanya Kartini. Unsur ego muncul karena adanya unsur Id, terlihat unsur ego dalam hal ini dimunculkan oleh sikap Hasan yang berubah. Tidak lagi agama yang menjadi tolak ukur, tetapi wanita yang ia cintai itulah yang menjadi tolak ukurnya dalam bersikap dan berpenampilan.
Dalam keadaan demikian, maka tiap gerak dan ucapanku selalu kutimbang-timbang dulu dengan insyaf: Apa kata dia? Akan marahkah dia? Sukakah dia pada potongan bajuku ini? Dan sebagainya. (Hlm 112)
Selanjutnya superego muncul ketika ternyata Hasan menyadari perubahan dalam dirinya tersebut selama mengenal wanita itu. Akan tetapi superego disini tidak merubah keadaan. Hasan tetap mencintai wanita itu.
Terasa sekali betapa besarnya perubahanku dibanding dengan dulu. Dulu, artinya empat bulan yang lalu segala jejak dan ucapanku selalu kusesuaikan dengan “pendapat umum”, terutama dengan pendapat para alim-ulama. Aku selalu berhati-hati, jangan sampai menjadi noda dalam pandangan umum, alias “klas alim-ulama” itu. (Hlm 112)
Tapi sekarang pandangan umum itu sudah tidak begitu kuhiraukan lagi. Bagiku sekarang lebih penting pendapat Kartini. (Hlm 112)
Wanita dan cinta adalah dua hal yang paling berarti dalam hidup Hasan. Betapa tidak, kedua hal tersebut mampu merobohkan pohon-pohon agama yang awalnya tumbuh subur dalam hati Hasan. Sampai-sampai perkataan orangtuanya pun sudah tak lagi ia dengar.
Begitu dahsyatnya pengaruh wanita dalam kehidupan Hasan. Benar adanya memang bahwa wanita merupakan pembangun peradaban yang baik untuk bangsa Indonesia, karena ternyata wanita memiliki pengaruh yang cukup kuat. Dan tak heran jika ada istilah yang mengatakan bahwa dibalik lelaki sukses pasti terdapat peran wanita yang cukup besar.
Tokoh Hasan dalam novel Atheis ini sukses digambarkan sebagai tokoh yang penuh keragu-raguan. Bisa dikatakan nilai-nilai Islam yang tertanam dalam hati Hasan benar-benar mengakar, sehingga ketika pohon Islam tersebut tumbang tetapi masih bisa tumbuh menjadi tunas-tunas kecil yang membuat pikiran Hasan masih bimbang ketika pun dia memutuskan untuk mengikuti ideologi yang ditawarkan oleh Rusli dan kawan-kawannya. Dan kita mengetahui bahwa diakhir hayatnya pun Hasan masih sempat mengucapkan kalimat takbir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar