Potret Sosial Banten dan Bandung dengan Theis dan
Atheis
Keberanekaragaman
budaya di Indonesia merupakan suatu hal yang unik dan menarik untuk
diperbincangkan. Indonesia adalah salah satu negara dengan bermacam-macam suku
bangsa, bahasa, adat budaya, dan juga agama. Masyarakat Indonesia dapat hidup
rukun dengan berbagai perbedaan dibawah payung nasionalisme yang kuat. Begitu
pula dengan agama, masyarakat Indonesia terdiri atas beberapa jenis pemeluk
agama. Mulai dari yang mayoritas pemeluk Islam hingga masyarakat pemeluk
Kristen, Hindu, Budha, Katholik, Kong Hu Chu, dan sebagainya. Mereka yakin dan
percaya bahwa Tuhan itu ada. Akan tetapi bagaimanakah dengan mereka yang tidak
mempercayai bahwa Tuhan itu ada. Apakah mereka dapat bersatu pula dibawah bendera
nasionalisme Indonesia?
Setelah
membaca novel-lebih tepatnya roman- karangan Achdiat Karta Mihardja yang
berjudul Atheis, saya tertarik untuk mengulas kehidupan sosial masyarakat yang
percaya akan keberadaan Tuhan dan masyarakat yang tidak percaya akan keberadaan
Tuhan. Walaupun di Indonesia sendiri mungkin golongan orang-orang yang tak
beragama (atheis) sudah sedikit bahkan mungkin tidak ada, karena dalam
undang-undang pun diharuskan bahwa warga negara Indonesia wajib memeluk suatu
agama. Dalam novel ini tokoh Hasan yang notabenenya adalah seorang keturunan
alim ulama yang dibesarkan dalam keluarga yang paham tentang Islam, ketika
sudah dewasa harus dihadapkan pada kondisi sosial masyarakat-dalam hal ini
temannya- yang memiliki ideologi marxisme, leninisme, nihilisme, bahkan
atheisme.
Dalam
novel atheis karya Achdiat ini, digambarkan kehidupan keluarga Hasan yang
benar-benar mendidik Hasan dengan ilmu agama sejak Hasan kecil. Orangtua Hasan
pun sampai mempelajari ilmu tarekat kepada seorang Kiyai di Banten. Betapa
dalam novel ini Achdiat menggambarkan keluarga yang benar-benar mendalami
ajaran agama Islam, yang saya garis bawahi adalah latar tempat yang dijadikan
tempat belajar ilmu tarekat oleh kedua orangtua Hasan adalah Banten. Padahal
kita ketahui bahwa tempat tinggal mereka di Bandung tetapi mereka sampai pergi
ke Banten untuk mempelajari ilmu tarekat.
Nah, dari sini bisa kita ketahui bahwa
pada masa itu masyarakat di Banten sudah terkenal dengan masyarakat yang kental
akan kepercayaannya (Islam), mungkin sampai saat ini pun masih. Hasan yang juga
mengikuti jejak kedua orangtuanya belajar mendalami ilmu tarekat di Banten.
Dalam lingkungan yang serba terjaga ruhiyahnya. Banten menjadikan Hasan menjadi
pemuda yang kokoh dan sangat berpegang teguh pada Islam.
Potret
kehidupan Hasan yang sedari kecil dibesarkan dengan ajaran-ajaran Islam membuat
Hasan tumbuh menjadi pemuda yang alim dan paham tentang Islam. Sosok Hasan yang
memang sejak kecil sudah dikenalkan pada seramnya neraka dan indahnya kehidupan
surga, membuat ia begitu semangat dalam melaksanakan ibadah-ibadahnya. Hasan
hidup dalam lingkungan keluarga yang memang menjadikannya taat terhadap agama
dan Tuhannya.
Awal
cerita, novel ini masih biasa saja untuk dibaca. Akan tetapi semakin jauh saya
membaca, semakin menguras pikiran saya untuk berpikir. Seperti perang ideologi.
Sempat takut untuk meneruskan membaca novel ini, tetapi saya berpikir jika saya
berhenti justru akan membuat praduga sementara yang tidak jelas dalam benak
saya. Penggambaran tokoh-tokoh seperi
Rusli dan Kartini yang memiliki ideologi marxisme dan leninisme serta Anwar
yang memiliki ideologi nihilisme begitu hebat mendobrak dinding pertahanan
keyakinan Hasan.
Disini
Achdiat mencoba menempatkan tokoh Hasan pada lingkungan sosial yang berbeda
idelogi dengan ideologi yang Hasan anut. Bandung telah mengubah kehidupan Hasan
180 derajat. Dalam novel ini diceritakan bahwa Hasan yang terbiasa hidup dalam
lingkungan keagamaan yang kuat harus dihadapkan pada orang-orang dan lingkungan
yang memiliki cara pandang dan pemikiran yang ekstrim, yang mengesampingkan
bahkan meniadakan Tuhan dalam kehidupannya. Hasan mengetahui bahwa keyakinan
teman-temannya adalah salah dalam pandangannya, niat awal Hasan yang ingin
mempengaruhi teman-temannya untuk kembali kepada Islam ternyata malah berujung
petaka. Achdiat membuat cerita dalam novel ini begitu menarik, tokoh Hasan yang
memiliki ideologi yang begitu kuat dengan ajaran Islamnya dapat terpengaruh
oleh ideologi yang jelas-jelas bertolak belakang dengan ideologi dan kehidupan
Hasan. Interaksi sosial yang terjadi antara tokoh Hasan dengan tokoh Rusli,
Kartini, dan Anwar ternyata membuka mata kita bahwa proses interaksi sosial
bisa berfungsi sebagai sugesti atau bersifat persuasif. Tak bisa kita pungkiri
bahwa jika masyarakat theis dan atheis hidup berdampingan dalam satu payung
nasionalisme maka akan ada salah satu diantara mereka yang tergerus, dalam
artian terpengaruhi.
Konflik batin dalam tokoh Hasan
Jiwa merupakan
salah satu unsur yang ada pada diri manusia. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
kata jiwa memiliki arti roh manusia (yang ada di tubuh dan menyebabkan
seseorang hidup atau bernyawa. Jiwa juga diartikan sebagai seluruh kehidupan
batin manusia yang terjadi dari perasaan, pikiran, angan-angan, dan
sebagainya). Jiwa seseorang akan terlihat dan tercermin dari sikap atau tingkah
lakunya.
Menurut Dr. Singgih Dirgagunarsa, Psikologi adalah
ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia. Dalam hal ini, sikap dan tingkah
laku manusia menjadi tolak ukur dalam melihat kepribadian seseorang. Menurut
teori psikoanalitik Sigmund Freud, kepribadian terdiri dari tiga
elemen. Ketiga unsur kepribadian itu dikenal sebagai id, ego dan
superego yang bekerja sama untuk menciptakan
perilaku manusia yang kompleks. Id adalah
bagian kepribadian yang paling primitif (Robert D. Nye, 1992:16). Menurut Terry
Eagleton (1988:176), ego adalah sesuatu yang mengundang rasa kasihan, yang
genting sifatnya, terpukul oleh keadaan dunia luar, dimomok oleh cacian ganas super
ego. Sementara, komponen yang ketiga adalah
unsur super ego. Super ego merupakan satu
kekuatan yang ada di dalam jiwa seseorang individu itu dan kekuatan yang
mengontrol segala kehendaknya.
Dalam segi psikologi tokoh Hasan yang begitu pelik dengan konflik
batin, saya pikir sangat cocok jika dianalisis dengan teori psikoanalitik
Sigmund Freud. Banyak kejadian-kejadian yang benar-benar menguras pikiran Hasan
tentang pemikiran-pemikiran temannya. Disatu sisi Hasan sangat ingin pergi dan
meninggalkan mereka, tetapi disisi lain ada perasaan yang mencegahnya untuk
terus tetap berinteraksi dengan meraka, yaitu perasaannya terhadap Kartini.
Konflik batin yang dirasakan oleh Hasan memuncak ketika Hasan
mulai sering berkunjung kerumah Rusli dan mulai sering mendengarkan
ujaran-ujaran Rusli tentang keberadaan Tuhan yang tidak ada tersebut.
Teori-teori yang diucapkan oleh Rusli mulai menggoyahkan iman Hasan, terlebih
oleh perempuan yang bernama Kartini itu. Waktu-waktu Hasan lebih banyak
dihabiskannya dengan Kartini.
Suara hatiku yang mula-mula hanya sayup-sayup terdengar
makin hari makin jelas. Suara bahwa aku mencintai Kartini, seperti pernah aku
mencintai Rukmini dulu. (Hlm 112)
Jelas Id terlihat dari kutipan tersebut bahwa naluri Hasan sesungguhnya
memang mencintai Kartini. Wanita yang nyaris sama persisi dengan Rukmini,
kekasihnya dulu. Cinta selalu membuat siapa saja yang menikmatinya hanyut dalam
keindahannya. Begitu pula Hasan, lelaki alim dah saleh bisa terlena oleh
cintanya Kartini. Unsur ego muncul karena adanya unsur Id, terlihat unsur ego
dalam hal ini dimunculkan oleh sikap Hasan yang berubah. Tidak lagi agama yang
menjadi tolak ukur, tetapi wanita yang ia cintai itulah yang menjadi tolak
ukurnya dalam bersikap dan berpenampilan.
Dalam keadaan demikian, maka tiap gerak dan ucapanku
selalu kutimbang-timbang dulu dengan insyaf: Apa kata dia? Akan marahkah dia?
Sukakah dia pada potongan bajuku ini? Dan sebagainya. (Hlm 112)
Selanjutnya superego muncul ketika ternyata Hasan menyadari perubahan dalam
dirinya tersebut selama mengenal wanita itu. Akan tetapi superego disini tidak
merubah keadaan. Hasan tetap mencintai wanita itu.
Terasa sekali betapa besarnya perubahanku dibanding
dengan dulu. Dulu, artinya empat bulan yang lalu segala jejak dan ucapanku
selalu kusesuaikan dengan “pendapat umum”, terutama dengan pendapat para
alim-ulama. Aku selalu berhati-hati, jangan sampai menjadi noda dalam pandangan
umum, alias “klas alim-ulama” itu. (Hlm 112)
Tapi sekarang pandangan umum itu sudah tidak begitu
kuhiraukan lagi. Bagiku sekarang lebih penting pendapat Kartini. (Hlm 112)
Wanita dan cinta adalah dua hal yang paling berarti dalam
hidup Hasan. Betapa tidak, kedua hal tersebut mampu merobohkan pohon-pohon
agama yang awalnya tumbuh subur dalam hati Hasan. Sampai-sampai perkataan
orangtuanya pun sudah tak lagi ia dengar.
Begitu dahsyatnya pengaruh wanita dalam kehidupan Hasan.
Benar adanya memang bahwa wanita merupakan pembangun peradaban yang baik untuk
bangsa Indonesia, karena ternyata wanita memiliki pengaruh yang cukup kuat. Dan
tak heran jika ada istilah yang mengatakan bahwa dibalik lelaki sukses pasti
terdapat peran wanita yang cukup besar.
Tokoh Hasan dalam novel Atheis ini sukses digambarkan
sebagai tokoh yang penuh keragu-raguan. Bisa dikatakan nilai-nilai Islam yang
tertanam dalam hati Hasan benar-benar mengakar, sehingga ketika pohon Islam
tersebut tumbang tetapi masih bisa tumbuh menjadi tunas-tunas kecil yang
membuat pikiran Hasan masih bimbang ketika pun dia memutuskan untuk mengikuti
ideologi yang ditawarkan oleh Rusli dan kawan-kawannya. Dan kita mengetahui
bahwa diakhir hayatnya pun Hasan masih sempat mengucapkan kalimat takbir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar