Cinta
tak lagi menjadi hal indah dalam hidupku. Bagiku kini hanyalah bagaimana agar
aku dapat hidup seorang diri tanpa harus mengiba pada orang lain. Terkadang aku
berpikir mengapa orang-orang begitu merasa menjijikannya melihat diriku. Padahal
aku pun sama seperti mereka, diciptakan oleh Tuhan tanpa pernah aku memintanya.
Lantas bisakah aku protes terhadap Tuhan tentang kelahiranku ke dunia. Apa mau
dikata? Aku tak mau berpikir terlalu jauh seperti orang-orang pintar diatas
sana. Aku cukup berpikir bagaimana hari ini aku bisa mengisi perutku yang
terkadang terasa melilit karena tak sempat dihampiri oleh butir-butir nasi. Terpaksa.
Kadang
aku berpikir mengapa orang-orang begitu mencintai dunia yang begitu menyakitkan
ini. Berlomba-lomba menjadi orang ternama padahal kebutuhan mereka tak hanya
sekedar nama. Ada yang lebih penting dari sekedar nama, yaitu sebuah kepedulian
berbagi.
Siang
ini cukup terik matahari menyambar tubuhku, ah aku sudah bersahabat dengan
matahari. Walaupun terkadang begitu hebatnya ia membakar lapisan-lapisan
kulitku sehingga menjadi hitam legam seperti ini. Apa peduliku terhadap hal
itu.
“Den,
ayo ambil gitarmu”
“Ah
apa kau tak bosan bermain-main dengan gitarmu itu?”
“Bagaimana
bisa bosan jika hanya dengan alat ini aku bisa mengisi perutku?”
“Hidupmu
hanya sekedar makan saja tong”
“Kalau
tak makan kau tak akan bisa hidup den”
“Tapi
cita-cita lebih penting daripada sekedar mengisi perut”
“Apa
pentingnya cita-cita? Kau lihat? Orang-orang digedung megah itu pun tak pernah
sekali saja memikirkan cita-cita. Mereka hanya peduli dengan perutnya”
“yasudah
sudah pergi kau sana, biarkan aku disini seorang diri”
“Dasar
pemuda malas, pantas saja Ratu meninggalkanmu”
“Hey
kau, jaga bicaramu. Justru karena aku tak sepertimu yang hanya mengandalkan gitar
usangmu itu”
Berjalan
ku menyusuri lembah-lembah kenistaan ini. Tak dapat sedikitpun aku mendapat
jawaban atas segala pertanyaanku tentang orang-orang diatas gedung megah itu.
Aku hanya bisa melihat tanpa sedikitpun membayangkan menjadi seperti mereka. Kotor.
Pengkhianat. Pecundang. Pendusta. Adakah yang lebih biadab dari kata dusta?
***
“Ingat
cu, seorang pemimpin pernah berkata begini Berilah aku sebuah pisang dengan
sedikit simpati yang keluar dari lubuk‐hatimu,
tentu aku akan mencintaimu untuk selama‐lamanya.
Akan tetapi berilah aku seribu juta dollar dan disaat itu pula engkau tampar
mukaku dihadapan umum, maka sekalipun ini nyawa tantangannya aku akan berkata
kepadamu, "Persetan !"
“Maksudnya
apa kek?”
Sembari
memijat punggung kakek yang sudah tak lagi kuat menopang beban kehidupan aku
mendengarkan setiap ocehan-ocehannya.
“Aku
tak yakin dewasa kelak kau akan mampu bertahan hidup Raden”
“Aku
semakin tak mengerti kek”
“kelak
kau akan mengetahuinya, nak. Jangan pernah jadikan uang sebagai tolak ukur dalam
hidupmu.”
Aku
hanya manut-manut saja dengan wejangan-wejangan yang kakek berikan.
***
Persetan dengan wanita. Tak mampu lagi aku
mempercayainya. Makhluk aneh itulah yang telah menyeretku pada lembah kenistaan
ini. Kembali aku berpikir bahwa hidup tidak hanya sekedar nama. Tapi tanpa nama
pun aku tak bisa hidup bahagia. Tolol, karena nama hidupmu jadi seperti ini.
Semua
berkecamuk dalam pikiranku. Sungguh berisik.
”Kakek, aku merindukanmu.”
Aku
baru mengerti mengapa dahulu kakek berbicara bahwa jangan pernah jadikan uang
sebagai tolak ukur kehidupan.
“Tapi ketulusan pun bisa dibeli dengan uang, kek”
Terisak
aku dalam gundukan yang penuh sampah ini. Berharap batu nisan yang saat ini
dihadapanku berbicara.
***
“maafkan
aku, karena keadaan ekonomi memaksaku untuk melakukan ini”
Wajahnya
memerah dan sayu. Ia hanya mampu untuk menunduk tanpa sedikit pun melihat sorot
mataku yang tajam. Membara amarah dalam hatiku ini.
“lalu
apa arti cinta dalam hatimu itu Ratu? Apakah kemiskinan telah mampu mengikis
rasa cinta dalam dadamu?”
“aku
mengerti perasaanmu. Maka dari itu aku memberanikan diri untuk berbicara padamu
Raden. Bukan karena aku tak mencintaimu, tapi…”
Plaakkk…
Tak
sempat wanita yang aku cintai ini meneruskan bicaranya, tanganku telah melayang
pas mengenai pipinya yang merona. Aku tak kuasa menahan amarahku.
***
“kek,
apa aku harus tetap percaya pada kata cinta? Sedangkan ia telah menggores luka
pada hidupku? Kek, jawab pertanyaanku. Apa didalam sana kau sedang menderita
sehingga tak mampu lagi memberikanku wejangan-wejangan seperti ketika aku kecil
dulu? Dulu kau bercerita begitu indah tentang makna cinta, tentang kisah
cintamu yang abadi bersama nenek. Tapi 5 tahun berlalu dan aku tetap terjerat
dalam tali cinta Ratu yang menikam hatiku ini. Apakah cinta hanya berlaku untuk
orang-orang ternama diatas sana? Apakah cinta tak berlaku untuk pemuda miskin
sepertiku? yang hanya mampu mencari rupiah dengan gitar buluk di terminal
angkutan kota”
“sekali
pun berbusa mulutmu, tak akan sedikitpun suara terdengar dari nisan berbatu
itu. Apa kau akan tetap memandang pada satu arah Raden? Sehingga tak mampu
nuranimu merasakan cinta yang tulus sedang menantimu”
Seketika
aku tersentak dengan suara lembut seorang wanita.
“Darimana
kau mengetahui aku sedang berada disini Putri?”
“Masihkah
pertanyaan itu layak untuk aku jawab, sedangkan berhari-hari tak sedikitpun
waktuku terlewati untuk bisa mengamatimu”
“Kau
begitu baik hati putri, apa yang menarik dari diriku? Tak ada. Aku hanya pemuda
miskin yang tidak layak untuk dicintai”
“jika
kemiskinan sudah mengambil semua kebahagiaan hidup, tak bisakah cinta menjadi
sedikit pemanis dalam hidup?”
Mataku
menatap tajam mata putri. Kami saling berpandangan dalam waktu yang lama.
“Temani
aku dalam kemiskinan ini Putri”
“Kemiskinan
bukan menjadi alasan untuk aku meninggalkanmu Raden, aku tak perlu alasan untuk
bisa mencintaimu”
Kecupku
sederhana dikening Putri. Ratu tidak lagi menjadi Ratu dalam hatiku. Tapi
sekarang Putri adalah Ratu dihatiku.