Sabtu, 25 Januari 2014

Mimpi dan Persahabatanku



Sore itu aku termenung di bawah pohon yang rindang di sebuah taman dekat rumahku. Aku teringat akan masa di saat aku mengenakan putih abu-abu. Mungkin saat ini aku masih belum sanggup untuk move on dari kenangan dan cerita-cerita manis masa SMA ku. Masa terindah yang banyak mengukir beribu goresan kisah-kisah yang luar biasa. Lekuk-lekuk kehidupan remaja yang sedang mencari jati diri. Dengan pahatan kasih sayang dan ukiran indah tentang sejatinya arti sahabat dan persahabatan.
Tidak ada yang tahu jika akhirnya aku akan dan bahkan sampai bersahabat dengan mereka. Chyntia Sami Bhayangkara, si cewek anak mami yang perkasa. Sri Hartati, dengan pola pikirannya yang sangat sulit ditebak. Terkadang pun sulit menebak-nebak kondisi hatinya. Lalu Sri Wahyu Handayani: “kembaranku”, kata orang sih begitu. Mungkin karena postur tubuh yang hampir sama, sehingga terkadang kami disebut sebagai anak kembar. Tuhan telah menggoreskan takdirnya bahwa kami memang harus terikat dalam persahabatan ini. Bahkan di sore yang mendung ini, aku kembali merindukan mereka. Seperti yang aku bilang tadi, aku tak pernah bisa move on dari sejarah-sejarah SMA ku, karena aku tak pernah sedikit pun berpikir untuk melupakan masa-masa itu.
Mereka lebih dari sekadar sahabat bagiku. Mereka tempat aku berbagi bahkan membagi. Aku selalu ingat ketika aku berdiskusi bersama mereka di pelataran masjid SMA hingga sore. Padahal saat itu sekolah sudah sangat sepi.
“Gak kerasa ya, ujian nasional tinggal beberapa bulan lagi, rasanya gue pengen cepet-cepet lulus gitu tanpa harus melewati ujian yang 20 paket ini. Setelah ini kita mau kemana, ya?”
 Ujar Tati di sela-sela obrolan kami.
“Gatau gue bingung, gimana abang gue aja. Kalo ditanya mau kuliah, siapa sih yang gak mau kuliah. Lu gimana, Yan?”
Tanya Chyntia kepadaku.
“Entahlah, gue juga bingung. Intinya kalo emang dikasih kesempatan kuliah sih ya gue tetep mau ambil Bahasa Indonesia, pengennya mah di Bandung tapi tahu sendiri biaya yang dipikirin. Emak gue setiap ditanya tentang kuliah bilangnya udah ikut seleksinya aja dulu, gitu”.
Tukasku kepada sahabat-sahabatku itu. Yah, beginilah kelakuan kami sepulang sekolah, beralasan tugas dan berujung pada obrolan ngalor ngidul tak tentu.
“Gue kerja sih kayanya, emak gue udah bilang gak sanggup kalo buat biayain kuliah. Paling ngumpulin duit dulu baru kuliah” Sambung Handa.
Kami membicarakan banyak hal dari A sampai Z. Kami selalu membicarakan tentang masa depan kami. Tentang hidup dan kehidupan, tentang orangtua kami, tentang sekolah, tentang keadaan remaja pada saat itu, bahkan tentang anak-anak kami nanti. Padahal saat itu kami masih mengenakan seragam putih abu. Akan tetapi sejauh itu kami berdiskusi, sejauh itu kami berangan-angan. Bahkan tak jarang kami berbicara tentang mimpi.
“Menurut kalian mimpi itu apa sih?”
Tanya Tati, seperti yang aku bilang tadi bahwa sulit menebak pikirannya. Tiba-tiba saja dia bertanya tentang mimpi.
“Mimpi itu gak salah kan yah? Bebas kan?”
Lanjutnya seperti berbicara pada dirinya sendiri.
“Sadar gak sih kalo kita berempat itu punya karakter dan background yang beda-beda? Tati dengan dunia seni dan teaternya, Handa yang sering naik gunung dan berharap banget bisa masuk wanadri, Sume—panggilan untuk Chyntia-- yang begitu disayangnya sama emanya, dan gue dengan latar belakang gue yang anak rohis”
Ucapku, pikiranku pun jauh melayang membayangkan suatu saat nanti kami akan memiliki masa depan yang bersama-sama pula.
“Gue berharap nanti gue jadi seorang penulis terkenal, terus lu Tat jadi sutradaranya, Sume jadi kameramennya, si Handa jadi artisnya. Haha apa banget dah gue yak?”
Bicaraku sudah ngelantur kemana-mana.
“Aamiin, kan tadi gue udah bilang bermimpi itu gak ada yang larang.  Tapi bener juga kata lu yan, perbedaan kita sangat mencolok banget”
Tukas Tati membenarkan pendapatku.
“Pelangi aja indah walaupun warnanya beda-beda, justru kita itu saling melengkapi”
Sume pun ikut menanggapi.
“Wanadri itu gak cuma sekedar naek gunung tau, lu tau kan kaya tim sar gitu, pokonya yang sering dikirim ke pelosok-pelosok gitu”
Sambung Handa.
“Gimana kalo suatu saat nanti kita bikin sekolah di papua?
Usul Tati.
“Yuk.. yuk.. yuk.. tapi kebutuhan hidup disana tuh lebih mahal looh”
“Yaelah nda mimpi ini, kita mana tau Tuhan ngabulin do’a kita atau nggak”
“Yaudah pokonya kita berempat harus bisa ngediriin sekolah di Papua”
Ucap Chyntia memberi kesimpulan.
“Aamiin.. aamiin.. setuju dah”
Mungkin saat itu bangunan sakral itu menjadi saksi tentang mimpi-mimpi yang kami ucapkan itu. Entahlah suatu saat nanti mimpi itu akan menjadi nyata atau tidak. Kami tak pernah merasa terlalu tinggi dengan cita-cita yang kami gantungkan di sudut-sudut lelangitan masjid itu, karena kami percaya bahwa hakikatnya bermimpi itu tidak dilarang. Bermimpi adalah berdo’a, dan kalaupun suatu saat nanti realita dengan harapan tidak saling berpadu. Setidaknya Allah telah memberi kesempatan kepada kami untuk menceritakan dan mengungkapkan cita-cita dan mimpi kami.
***
Sore itu aku merenung ditemani oleh catatan harianku. Ternyata pikiranku melayang kemana-mana, tak berhenti sampai mimpiku dan para sahabatku itu. Tanpa sadar aku pun menuliskan sebuah cerita tentang bagaimana perjuanganku bisa sampai pada keadaanku yang sekarang. Menjadi Mahasiswa Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta)..
***
---Ini yang  kucoretkan dalam diariku sore itu….---
Sore ini aku sangat-sangat merindukan kalian. Kali ini teman curhatku, yah diari ini. Akan tetapi aku harap kalian masih bisa meluangkan waktu untuk bersedia menjadi pendengarku yang baik lagi, seperti dulu.
Menjadi seorang manusia yang sukses dan membuat bangga kedua orangtua. Itulah harapanku, aku yakin itu pasti harapan kalian juga. Mungkin mustahil ketika aku berpikir seperti itu. Melihat kondisi perekonomian keluargaku yang begitu adanya, yah kalian juga pastinya tahu kan sobat. Mungkin karena prestasi yang selalu aku dapatkan baik dari bangku SD, SMP, ataupun SMA yang semua biaya pendidikannya itu memeras keringat kedua orangtua ku. Aku tahu, bahwa pendidikan memanglah penting bagi kita selaku manusia yang ditugaskan oleh Allah menjadi khalifah di bumi ini, tapi aku pun tak pernah memaksa keadaan ataupun menyalahi tuhan ketika pahitnya aku tidak bisa menikmati indahnya bangku sekolah itu. Baik dari dasar, menengah pertama, maupun menengah atas.
Bagiku pengalaman hidup adalah pendidikan yang paling berharga dan tidak akan pernah didapatkan melalui kursi sekolah ataupun kursi kuliah. Dan bagiku mengenal kalian sebagai sahabat-sahabat terbaikku adalah suatu bagian dari hidupku yang begitu berharga. Aku belajar banyak tentang kesederhanaan dari kalian. Apalagi Handa, seorang remaja yang selalu tertawa bahkan dalam keadaan sesempit apapun. Ia selalu bisa menyembunyikan kesedihannya. Aku jadi berpikir tentang peliknya kehidupan. Aku belajar banyak dari kalian. Aku belajar dari kisah hidup Tati, Sume, Handa, yang membuatku berpikir jika memang kebahagiaan hidup tercapai bergantung kepada tingkat kesyukuran kita.
Ketika Allah SWT memberikan berkah melalui rezekinya lewat kedua orangtua ku, lewat keringat-keringat mereka yang mengalir tiada henti dari ujung rambut hingga ujung kaki, dari fajar pagi hingga senja sore. Diberikanlah aku kesempatan untuk menikmati indahnya kuliah. Bagiku butuh perjuangan keras untuk sampai pada keadaanku yang sekarang ini. Bisa duduk bersama mereka yang dengan sangat mudah bisa untuk kuliah. Tak terpentok dengan rupiah-rupiah. Sejak Ujian Nasional terpampang di depan wajahku. Itu pertanda bahwa masa-masa indahku menimba ilmu dibangku SMA akan segera berakhir. Raut hatiku mungkin bahagia, tetapi logika berkata akan kemana diriku setelah ini. Tiada henti siang dan malam kutangkupkan seuntai do’a. meminta pada Sang Pencipta. Tolong tunjukkan jalan itu.
Mulailah mimpi-mimpi itu ku susun rapi di dinding kamarku. Coretan tak berarti tapi memiliki kekuatan hati. Untirta akhirnya menjadi pilihan hatiku dan ibuku. Ayah serta Ibu mendukung ketika aku berkeputusan ingin meneruskan pendidikanku ini. Sempat aku bertengkar hebat dengan Ayah ketika malam itu. Ketika aku memilih Untirta sebagai prioritas utamaku. Namun setelah aku jelaskan alasanku memilih Untirta, akhirnya ayah pun mendukungku. Saat itu, aku tidak memikirkan dari mana biaya yang akan orangtuaku dapatkan untuk kuliahku nanti. Toh.. guruku pernah berkata,“Ketika kamu lolos seleksi dan masuk perguruan tinggi, dan keadaan ekonomi memaksamu untuk berhenti, itu artinya kamu berhenti dengan kisah yang memiliki arti. Lantas apa salahnya untuk mencoba?”
Jreng.. jreng.. tibalah saat di mana pengumuman menyatakan aku lolos Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) dengan pilihan Untirta. Alhamdulillah.. sangat bahagia aku membacanya. Semangkuk mie ayam yang saat itu ada di depanku tak ku hiraukan, speechless ketika ku buka daftar peserta yang lolos SNMPTN.
Sepulang aku kursus, langsung ku beritahu kedua orangtua ku. Rona bahagia tergurat jelas di wajah mereka. Seolah bunga taman yang sedang bermekaran.
Pernah setelah aku mengurus registrasi masuk ke Untirta, pamanku seolah tak mendukung aku untuk kuliah di sana. Dia selalu menyuruhku segera membuat KTP dan membuat surat lamaran pekerjaan. Tak lama, mata yang kulihat berkaca-kaca itu pecah. Memecah kesunyian di maghrib yang sendu itu. Ibuku menangis terisak, ia merasa hina. Seolah pendidikan tinggi hanya boleh di enyam oleh orang-orang yang ekonominya tinggi saja.
Maghrib itu aku pun menangis menjerit, hatiku serasa disayat oleh pisau tajam yang baru di asah. Melihat air mata yang jatuh dari pelupuk mata orang yang telah melahirkanku. Orang yang paling berharga dalam hidupku. Air mata itu seolah membakar semangatku, yang kemudian menyala-nyala hingga aku harus yakin bahwa aku pasti bisa kuliah dan membanggakan kedua orangtuaku.
Tibalah saat-saat kelam dalam hidupku, muncullah satu pertanyaan besar dalam benakku. Dari mana biaya yang akan orangtuaku dapatkan untuk uang kuliahku?.
Ketika satu hari, pernah aku tanyakan kepada ibu tentang biaya kuliahku. Ibu hanya tersenyum dan menjawab, “Allah selalu memberikan masalah satu paket dengan penyelesaiannya nak”.
Dari situ aku selalu menanyakan tentang beasiswa yang ada di Untirta. Ternyata ibu benar, beberapa waktu setelah itu, muncul lah pengumuman tentang penerimaan beasiswa bidikmisi kuota tambahan.
Setelah aku menyerahkan berkas pada bagian kemahasiswaan Untirta, selanjutnya aku serahkan kepada Allah. Lewat Dhuha dan sujudku di sepertiga malam-malam yang aku lalui. Tak henti do’a menjadi senjataku saat itu. Semoga Allah selalu memberikan jalan terbaik-Nya.
Setelah sebulan menunggu, pengumuman itu akhirnya ku lihat di mading rektorat. Tak henti syukur ku ucap ketika ternyata namaku ada diurutan ketiga nama-nama yang banyak tersebut. Kuasa Allah, yang memang selalu mendengar dan melihat usaha hamba-Nya. Aku sangat yakin bahwa di balik ini semua, ada do’a orangtua yang selalu terucap di setiap sholatnya. Dan tentu pasti do’a kalian juga kan sahabat-sahabatku.
***
Tak terasa ternyata catatanku basah. Air mataku tak bisa terbendung lagi. Entah mengapa aku tak pernah bisa lupa akan kejadian itu. Ketika Ummi menangis dan mengadu kepada nenek tentang perlakuan pamanku itu. Ah sudahlah, senja sudah pergi meninggalkanku. Sang raja cahaya pun sudah kembali besembunyi di peraduannya. Aku mengusap air mataku dan langsung beranjak pulang. Sepanjang perjalan pulang aku berpikir tentang mimpiku, mimpi kalian, mimpi kita. Semoga Allah memberikan kemudahan untuk itu semua. Walau aku sedikit kecewa karena akhirnya Chyntia yang seharusnya satu kampus denganku, dan Handa satu kampus dengan Tati. Akan tetapi mereka bertiga malah satu kampus sekarang. Tetapi aku bahagia karena akhirnya kita berempat bisa kuliah dengan beasiswa. Cahaya itu sedikit demi sedikit mulai datang kawan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar