Sore itu aku termenung
di bawah pohon yang rindang di sebuah taman dekat rumahku. Aku teringat akan
masa di saat aku mengenakan putih abu-abu. Mungkin saat ini aku masih belum
sanggup untuk move on dari kenangan
dan cerita-cerita manis masa SMA ku. Masa terindah yang banyak mengukir beribu
goresan kisah-kisah yang luar biasa. Lekuk-lekuk kehidupan remaja yang sedang
mencari jati diri. Dengan pahatan kasih sayang dan ukiran indah tentang
sejatinya arti sahabat dan persahabatan.
Tidak ada yang tahu
jika akhirnya aku akan dan bahkan sampai bersahabat dengan mereka. Chyntia Sami
Bhayangkara, si cewek anak mami yang perkasa. Sri Hartati, dengan pola
pikirannya yang sangat sulit ditebak. Terkadang pun sulit menebak-nebak kondisi
hatinya. Lalu Sri Wahyu Handayani: “kembaranku”, kata orang sih begitu. Mungkin
karena postur tubuh yang hampir sama, sehingga terkadang kami disebut sebagai
anak kembar. Tuhan telah menggoreskan takdirnya bahwa kami memang harus terikat
dalam persahabatan ini. Bahkan di sore yang mendung ini, aku kembali merindukan
mereka. Seperti yang aku bilang tadi, aku tak pernah bisa move on dari sejarah-sejarah SMA ku, karena aku tak pernah sedikit
pun berpikir untuk melupakan masa-masa itu.
Mereka lebih dari sekadar sahabat bagiku.
Mereka tempat aku berbagi bahkan membagi. Aku selalu ingat ketika aku
berdiskusi bersama mereka di pelataran masjid SMA hingga sore. Padahal saat itu
sekolah sudah sangat sepi.
“Gak kerasa ya,
ujian nasional tinggal beberapa bulan lagi, rasanya gue pengen cepet-cepet
lulus gitu tanpa harus melewati ujian yang 20 paket ini. Setelah ini kita mau
kemana, ya?”
Ujar Tati di sela-sela
obrolan kami.
“Gatau gue
bingung, gimana abang gue aja. Kalo ditanya mau kuliah, siapa sih yang gak mau
kuliah. Lu gimana, Yan?”
Tanya Chyntia kepadaku.
“Entahlah, gue
juga bingung. Intinya kalo emang dikasih kesempatan kuliah sih ya gue tetep mau
ambil Bahasa Indonesia, pengennya mah di Bandung tapi tahu sendiri biaya yang
dipikirin. Emak gue setiap ditanya tentang kuliah bilangnya udah ikut
seleksinya aja dulu, gitu”.
Tukasku kepada sahabat-sahabatku itu. Yah, beginilah
kelakuan kami sepulang sekolah, beralasan tugas dan berujung pada obrolan ngalor ngidul tak tentu.
“Gue kerja sih
kayanya, emak gue udah bilang gak sanggup kalo buat biayain kuliah. Paling
ngumpulin duit dulu baru kuliah” Sambung Handa.
Kami membicarakan banyak hal dari A
sampai Z. Kami selalu membicarakan tentang masa depan kami. Tentang hidup dan
kehidupan, tentang orangtua kami, tentang sekolah, tentang keadaan remaja pada
saat itu, bahkan tentang anak-anak kami nanti. Padahal saat itu kami masih
mengenakan seragam putih abu. Akan tetapi sejauh itu kami berdiskusi, sejauh
itu kami berangan-angan. Bahkan tak jarang kami berbicara tentang mimpi.
“Menurut kalian
mimpi itu apa sih?”
Tanya Tati, seperti yang aku bilang tadi bahwa sulit
menebak pikirannya. Tiba-tiba saja dia bertanya tentang mimpi.
“Mimpi itu gak
salah kan yah? Bebas kan?”
Lanjutnya seperti berbicara pada dirinya sendiri.
“Sadar gak sih
kalo kita berempat itu punya karakter dan background yang beda-beda? Tati
dengan dunia seni dan teaternya, Handa yang sering naik gunung dan berharap
banget bisa masuk wanadri, Sume—panggilan untuk Chyntia-- yang begitu
disayangnya sama emanya, dan gue dengan latar belakang gue yang anak rohis”
Ucapku, pikiranku pun jauh melayang
membayangkan suatu saat nanti kami akan memiliki masa depan yang bersama-sama
pula.
“Gue berharap
nanti gue jadi seorang penulis terkenal, terus lu Tat jadi sutradaranya, Sume
jadi kameramennya, si Handa jadi artisnya. Haha apa banget dah gue yak?”
Bicaraku sudah ngelantur kemana-mana.
“Aamiin, kan
tadi gue udah bilang bermimpi itu gak ada yang larang. Tapi bener juga kata lu yan, perbedaan kita
sangat mencolok banget”
Tukas Tati membenarkan pendapatku.
“Pelangi aja
indah walaupun warnanya beda-beda, justru kita itu saling melengkapi”
Sume pun ikut menanggapi.
“Wanadri itu gak
cuma sekedar naek gunung tau, lu tau kan kaya tim sar gitu, pokonya yang sering
dikirim ke pelosok-pelosok gitu”
Sambung Handa.
“Gimana kalo suatu
saat nanti kita bikin sekolah di papua?
Usul Tati.
“Yuk.. yuk..
yuk.. tapi kebutuhan hidup disana tuh lebih mahal looh”
“Yaelah nda
mimpi ini, kita mana tau Tuhan ngabulin do’a kita atau nggak”
“Yaudah pokonya
kita berempat harus bisa ngediriin sekolah di Papua”
Ucap Chyntia memberi kesimpulan.
“Aamiin..
aamiin.. setuju dah”
Mungkin saat itu
bangunan sakral itu menjadi saksi tentang mimpi-mimpi yang kami ucapkan itu.
Entahlah suatu saat nanti mimpi itu akan menjadi nyata atau tidak. Kami tak
pernah merasa terlalu tinggi dengan cita-cita yang kami gantungkan di
sudut-sudut lelangitan masjid itu, karena kami percaya bahwa hakikatnya
bermimpi itu tidak dilarang. Bermimpi adalah berdo’a, dan kalaupun suatu saat
nanti realita dengan harapan tidak saling berpadu. Setidaknya Allah telah
memberi kesempatan kepada kami untuk menceritakan dan mengungkapkan cita-cita
dan mimpi kami.
***
Sore itu aku merenung
ditemani oleh catatan harianku. Ternyata pikiranku melayang kemana-mana, tak
berhenti sampai mimpiku dan para sahabatku itu. Tanpa sadar aku pun menuliskan
sebuah cerita tentang bagaimana perjuanganku bisa sampai pada keadaanku yang
sekarang. Menjadi Mahasiswa Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta)..
***
---Ini
yang kucoretkan dalam diariku sore itu….---
Sore ini aku
sangat-sangat merindukan kalian. Kali ini teman curhatku, yah diari ini. Akan
tetapi aku harap kalian masih bisa meluangkan waktu untuk bersedia menjadi
pendengarku yang baik lagi, seperti dulu.
Menjadi seorang manusia
yang sukses dan membuat bangga kedua orangtua. Itulah harapanku, aku yakin itu
pasti harapan kalian juga. Mungkin mustahil ketika aku berpikir seperti itu.
Melihat kondisi perekonomian keluargaku yang begitu adanya, yah kalian juga
pastinya tahu kan sobat. Mungkin karena prestasi yang selalu aku dapatkan baik
dari bangku SD, SMP, ataupun SMA yang semua biaya pendidikannya itu memeras
keringat kedua orangtua ku. Aku tahu, bahwa pendidikan memanglah penting bagi
kita selaku manusia yang ditugaskan oleh Allah menjadi khalifah di bumi ini,
tapi aku pun tak pernah memaksa keadaan ataupun menyalahi tuhan ketika pahitnya
aku tidak bisa menikmati indahnya bangku sekolah itu. Baik dari dasar, menengah
pertama, maupun menengah atas.
Bagiku pengalaman hidup
adalah pendidikan yang paling berharga dan tidak akan pernah didapatkan melalui
kursi sekolah ataupun kursi kuliah. Dan bagiku mengenal kalian sebagai
sahabat-sahabat terbaikku adalah suatu bagian dari hidupku yang begitu
berharga. Aku belajar banyak tentang kesederhanaan dari kalian. Apalagi Handa,
seorang remaja yang selalu tertawa bahkan dalam keadaan sesempit apapun. Ia
selalu bisa menyembunyikan kesedihannya. Aku jadi berpikir tentang peliknya
kehidupan. Aku belajar banyak dari kalian. Aku belajar dari kisah hidup Tati,
Sume, Handa, yang membuatku berpikir jika memang kebahagiaan hidup tercapai
bergantung kepada tingkat kesyukuran kita.
Ketika Allah SWT
memberikan berkah melalui rezekinya lewat kedua orangtua ku, lewat
keringat-keringat mereka yang mengalir tiada henti dari ujung rambut hingga
ujung kaki, dari fajar pagi hingga senja sore. Diberikanlah aku kesempatan
untuk menikmati indahnya kuliah. Bagiku butuh perjuangan keras untuk sampai
pada keadaanku yang sekarang ini. Bisa duduk bersama mereka yang dengan sangat
mudah bisa untuk kuliah. Tak terpentok dengan rupiah-rupiah. Sejak Ujian
Nasional terpampang di depan wajahku. Itu pertanda bahwa masa-masa indahku
menimba ilmu dibangku SMA akan segera berakhir. Raut hatiku mungkin bahagia,
tetapi logika berkata akan kemana diriku setelah ini. Tiada henti siang dan
malam kutangkupkan seuntai do’a. meminta pada Sang Pencipta. Tolong tunjukkan
jalan itu.
Mulailah mimpi-mimpi
itu ku susun rapi di dinding kamarku. Coretan tak berarti tapi memiliki
kekuatan hati. Untirta akhirnya menjadi pilihan hatiku dan ibuku. Ayah serta
Ibu mendukung ketika aku berkeputusan ingin meneruskan pendidikanku ini. Sempat
aku bertengkar hebat dengan Ayah ketika malam itu. Ketika aku memilih Untirta
sebagai prioritas utamaku. Namun setelah aku jelaskan alasanku memilih Untirta,
akhirnya ayah pun mendukungku. Saat itu, aku tidak memikirkan dari mana biaya
yang akan orangtuaku dapatkan untuk kuliahku nanti. Toh.. guruku pernah
berkata,“Ketika kamu lolos seleksi dan
masuk perguruan tinggi, dan keadaan ekonomi memaksamu untuk berhenti, itu
artinya kamu berhenti dengan kisah yang memiliki arti. Lantas apa salahnya
untuk mencoba?”
Jreng..
jreng.. tibalah saat di mana pengumuman menyatakan aku
lolos Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) dengan pilihan
Untirta. Alhamdulillah.. sangat bahagia aku membacanya. Semangkuk mie ayam yang
saat itu ada di depanku tak ku hiraukan, speechless
ketika ku buka daftar peserta yang lolos SNMPTN.
Sepulang aku kursus,
langsung ku beritahu kedua orangtua ku. Rona bahagia tergurat jelas di wajah
mereka. Seolah bunga taman yang sedang bermekaran.
Pernah setelah aku
mengurus registrasi masuk ke Untirta, pamanku seolah tak mendukung aku untuk
kuliah di sana. Dia selalu menyuruhku segera membuat KTP dan membuat surat
lamaran pekerjaan. Tak lama, mata yang kulihat berkaca-kaca itu pecah. Memecah
kesunyian di maghrib yang sendu itu. Ibuku menangis terisak, ia merasa hina.
Seolah pendidikan tinggi hanya boleh di enyam oleh orang-orang yang ekonominya
tinggi saja.
Maghrib itu aku pun
menangis menjerit, hatiku serasa disayat oleh pisau tajam yang baru di asah.
Melihat air mata yang jatuh dari pelupuk mata orang yang telah melahirkanku.
Orang yang paling berharga dalam hidupku. Air mata itu seolah membakar semangatku,
yang kemudian menyala-nyala hingga aku harus yakin bahwa aku pasti bisa kuliah
dan membanggakan kedua orangtuaku.
Tibalah saat-saat kelam
dalam hidupku, muncullah satu pertanyaan besar dalam benakku. Dari mana biaya
yang akan orangtuaku dapatkan untuk uang kuliahku?.
Ketika satu hari,
pernah aku tanyakan kepada ibu tentang biaya kuliahku. Ibu hanya tersenyum dan
menjawab, “Allah selalu memberikan
masalah satu paket dengan penyelesaiannya nak”.
Dari situ aku selalu
menanyakan tentang beasiswa yang ada di Untirta. Ternyata ibu benar, beberapa
waktu setelah itu, muncul lah pengumuman tentang penerimaan beasiswa bidikmisi
kuota tambahan.
Setelah aku menyerahkan
berkas pada bagian kemahasiswaan Untirta, selanjutnya aku serahkan kepada
Allah. Lewat Dhuha dan sujudku di sepertiga malam-malam yang aku lalui. Tak
henti do’a menjadi senjataku saat itu. Semoga Allah selalu memberikan jalan
terbaik-Nya.
Setelah sebulan
menunggu, pengumuman itu akhirnya ku lihat di mading rektorat. Tak henti syukur
ku ucap ketika ternyata namaku ada diurutan ketiga nama-nama yang banyak
tersebut. Kuasa Allah, yang memang selalu mendengar dan melihat usaha
hamba-Nya. Aku sangat yakin bahwa di balik ini semua, ada do’a orangtua yang
selalu terucap di setiap sholatnya. Dan tentu pasti do’a kalian juga kan
sahabat-sahabatku.
***
Tak terasa ternyata
catatanku basah. Air mataku tak bisa terbendung lagi. Entah mengapa aku tak
pernah bisa lupa akan kejadian itu. Ketika Ummi
menangis dan mengadu kepada nenek tentang perlakuan pamanku itu. Ah
sudahlah, senja sudah pergi meninggalkanku. Sang raja cahaya pun sudah kembali
besembunyi di peraduannya. Aku mengusap air mataku dan langsung beranjak
pulang. Sepanjang perjalan pulang aku berpikir tentang
mimpiku, mimpi kalian, mimpi kita. Semoga Allah memberikan kemudahan untuk itu
semua. Walau aku sedikit kecewa karena akhirnya Chyntia yang seharusnya satu
kampus denganku, dan Handa satu kampus dengan Tati. Akan tetapi mereka bertiga
malah satu kampus sekarang. Tetapi aku bahagia karena akhirnya kita berempat
bisa kuliah dengan beasiswa. Cahaya itu sedikit demi sedikit mulai datang
kawan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar