Senin, 23 September 2013

Sepenggal cerita dalam kalimat Laa Haula Wa Laa Kuwwata Illa Billah



Yakin tak yakin dengan keputusan yang satu ini. Dengan paksaan yang kuat dari seorang teman akhirnya aku memutuskan untuk ikut. Hari itu, 22 September 2013 menuju puncak pulosari. Pagi itu tepat pukul 07.30 kami berangkat menggunakan kendaraan yang super tangguh, yah benar sebuah truck yang biasanya digunakan untuk mengangkut bebatuan kini kami menggunakannya untuk perjalanan kami menuju gunung pulosari, Pandeglang.
2 jam berlalu akhirnya kami pun sampai ditempat tujuan kami. Berbaris rapi bak tentara Allah yang siap untuk berperang. Dengan sedikit pemanasan dan setelah dibagi beberapa team, mulailah tapak demi tapak kesungguhan ini, langkah demi langkah jejak kaki kami, perjalanan ukhuwah ini kami mulai. Mungkin suatu pengalaman baru bagiku, atau mungkin juga jawaban atas mimpi yang tak pernah berani ku tuliskan diatas kertas untuk menemani mimpi-mimpiku yang lain.
Ya Allah.. aku seolah bermimpi.. berani sekali mengambil keputusan untuk ikut mendaki, yah walau kata orang gunung pulosari itu gunungnya pemula. Tapi tetap saja, bagiku mengambil keputusan ini sangatlah luar biasa nekadnya. Namun, yasudahlah.. saat ini yang aku pikirkan hanyalah bagaimana caranya agar aku bisa mendaki gunung pulosari ini hingga di atas puncak sana dengan tidak merepotkan kawan-kawan serta teteh-teteh panitia yang berada dalam satu perjalanan ini.
Hmmm.. 5 menit.. 10 menit.. bahkan 15 menit pertama aku mendaki dengan sangat semangat. Kata orang jika suatu pekerjaan dilakukan dengan bahagia, wajah ceria, hati gembira, insyaAllah akan  mudah. “Semangat.. Semangat..” selalu itu teriakan kencang yang terlontar dari mulut hatiku. Akan tetapi semakin lama, semakin jauh, semakin atas aku mendaki. Suara teriakan dalam hatiku pun menjadi semakin kecil, semakin tak terdengar bahkan oleh hati kecil ku sendiri.
Setengah perjalananpun belum aku tempuh, akan tetapi rasa letih telah datang secepat ini. Ini lah waktu menyebalkan datang, aku harus merepotkan orang untuk membawakan tas ranselku.
Plak.. plak.. plak.. serasa ditampar hati ini. Tiba lah aku dengan saat-saat yang melelahkan. Sakit di bagian perut membuat aku break sebentar dibawah pendopo dengan dikelilingi begitu banyak pepohonan serta rumput rumput ilalang hijau. Dengan ditemani seorang teteh panitia, aku pun beristirahat. Kala itu tubuhku sudah tak mampu lagi melanjutkan perjalanan. Hingga muncul lah motivasi dari teteh panitia itu. Ia lah yang selalu menyemangatiku disepanjang pendakian ini. Aku serasa dilindungi oleh ibuku sendiri. Alhasil setelah minum obat, kulanjutkan pendakian ini. Satu pelajaran yang kudapatkan ketika istirahat disebuah pendopo itu. Yaitu kalimat cinta Allah yang berbunyi lahaula wala kuwwata illa billah, tiada pertolongan lain kecuali pertolongan Allah. Kalimat itu terus aku teriakkan dalam hatiku. Hingga akhirnya sampailah pada sebuah air terjun yang sejuk.
Tak berhenti sampai disitu, ternyata puncak pulosari yang aku tuju masih harus banyak melewati bebatuan besar, kerikil tajam, akar pohon yang merambat, jalanan yang lumayan licin, dan pohon-pohon yang tumbang. Jika membayangkan itu rasanya aku tak sanggup. Rasanya ingin sekali aku memutar arah lalu turun dan keluar dari barisan dakwah ini. Mengapa barisan dakwah ? karena bagiku mendaki gunung ini ibarat perjalanan dakwah yang memang tidak mudah untuk melewatinya. Banyak sekali rintangan yang terbentang. Tapi jika aku melakukannya, itu artinya aku telah gagal. Aku telah gagal menjadi kader dakwah yang militan, kader dakwah yang tahan banting, telah gagal menjadi perempuan yang soliha. Dan jika begitu, artinya aku tidak akan pernah bisa mengajak kedua orangtuaku menuju surga-Mu ya Rabb.
Aku kikis pikiran itu. Kembali aku semangat ketika mengingat ummi. Ketika aku bayangkan Ummi lah yang berada dipuncak itu. Bagaimanapun aku harus bisa sampai pada puncak pulosari itu.
Walau dengan peluh yang terus bercucuran, sampailah aku beserta teman-teman lainnya di kawah yang menghamburkan bau belerang yang sangat menyengat. Walau udara sudah terasa sejuk. Tetapi raga ini seperti dibakar.
Senang sekali hatiku saat itu. Kami semua disibukkan dengan kamera masing-masing. Pikiranku saat itu, perjuanganku mendaki telah selesai. Aku telah berhasil. Tapi ternyata untuk mencapai pada puncak tertinggi kami membutuhkan waktu tak kurang dari 1 jam 30 menit lagi. Ya Allah.. masih sanggup kah kaki ini melangkah. Sempat terlintas pikiran seperti itu dalam benakku.
Kamipun melanjutkan pendakian ini. Tak pernah sedikitpun aku bayangkan bahwa trek yang akan kami lewati seterjal ini. Aku harus merangkak, mencari akar-akar pohon yang kuat sebagai peganganku. Sangat hati-hati. Licinnya jalanan yang kami lalui, mengharuskan kami bahu membahu melewatinya. Saling bantu dan saling menguatkan. Ketika ada satu orang yang sudah terlihat tak sanggup, kami memotivasinya. Itulah dimana ukhuwah menjadi sangat erat. Hidup atau mati, dua pilihan itu lah yang berada dalam pikiranku ketika melewati terjalnya jalan menuju puncak. Lagi-lagi lahaula wala kuwwata illa billah, tak ada pertolongan lain selain Allah semata. Sama halnya ketika kita melewat jalan kehidupan ini. Jalan seperih apapun, sesulit apapun, ada Allah diatas segalanya. Yah.. tujuan kita. Kembali lagi kita bertanya pada hati dan diri ini. Untuk apa kita hidup ? Untuk apa kita dilahirkan ke dunia fana ini ? hanya Allah diatas semuanya. Hanya Allah diatas semua kesulitan. Tak akan ada kata lelah jika tujuan telah bulat dan tekad demi nama Islam. ALLAHU AKBAR !!!!!
Sungguh perjalanan ini membuatku berpikir, merenung, dan kembali berkaca pada hati nurani. Ternyata aku hanya satu butir debu diantara segumpal debu dipojokan dinding bumi. Yah.. semoga debu suci. Walaupun bentuknya kotor, tapi hakikatnya suci.

2 komentar: