Yakin
tak yakin dengan keputusan yang satu ini. Dengan paksaan yang kuat dari seorang
teman akhirnya aku memutuskan untuk ikut. Hari itu, 22 September 2013 menuju
puncak pulosari. Pagi itu tepat pukul 07.30 kami berangkat menggunakan
kendaraan yang super tangguh, yah benar sebuah truck yang biasanya digunakan
untuk mengangkut bebatuan kini kami menggunakannya untuk perjalanan kami menuju
gunung pulosari, Pandeglang.
2
jam berlalu akhirnya kami pun sampai ditempat tujuan kami. Berbaris rapi bak
tentara Allah yang siap untuk berperang. Dengan sedikit pemanasan dan setelah
dibagi beberapa team, mulailah tapak
demi tapak kesungguhan ini, langkah demi langkah jejak kaki kami, perjalanan ukhuwah
ini kami mulai. Mungkin suatu pengalaman baru bagiku, atau mungkin juga jawaban
atas mimpi yang tak pernah berani ku tuliskan diatas kertas untuk menemani
mimpi-mimpiku yang lain.
Ya
Allah.. aku seolah bermimpi.. berani sekali mengambil keputusan untuk ikut
mendaki, yah walau kata orang gunung pulosari itu gunungnya pemula. Tapi tetap
saja, bagiku mengambil keputusan ini sangatlah luar biasa nekadnya. Namun, yasudahlah.. saat ini yang aku pikirkan hanyalah
bagaimana caranya agar aku bisa mendaki gunung pulosari ini hingga di atas
puncak sana dengan tidak merepotkan kawan-kawan serta teteh-teteh panitia yang
berada dalam satu perjalanan ini.
Hmmm..
5 menit.. 10 menit.. bahkan 15 menit pertama aku mendaki dengan sangat
semangat. Kata orang jika suatu pekerjaan dilakukan dengan bahagia, wajah
ceria, hati gembira, insyaAllah akan
mudah. “Semangat.. Semangat..”
selalu itu teriakan kencang yang terlontar dari mulut hatiku. Akan tetapi semakin
lama, semakin jauh, semakin atas aku mendaki. Suara teriakan dalam hatiku pun
menjadi semakin kecil, semakin tak terdengar bahkan oleh hati kecil ku sendiri.
Setengah
perjalananpun belum aku tempuh, akan tetapi rasa letih telah datang secepat
ini. Ini lah waktu menyebalkan datang, aku harus merepotkan orang untuk membawakan
tas ranselku.
Plak..
plak.. plak.. serasa ditampar hati ini. Tiba lah aku dengan saat-saat yang
melelahkan. Sakit di bagian perut membuat aku break sebentar dibawah pendopo dengan dikelilingi begitu banyak
pepohonan serta rumput rumput ilalang hijau. Dengan ditemani seorang teteh
panitia, aku pun beristirahat. Kala itu tubuhku sudah tak mampu lagi
melanjutkan perjalanan. Hingga muncul lah motivasi dari teteh panitia itu. Ia
lah yang selalu menyemangatiku disepanjang pendakian ini. Aku serasa dilindungi
oleh ibuku sendiri. Alhasil setelah minum obat, kulanjutkan pendakian ini. Satu
pelajaran yang kudapatkan ketika istirahat disebuah pendopo itu. Yaitu kalimat
cinta Allah yang berbunyi lahaula wala
kuwwata illa billah, tiada pertolongan lain kecuali pertolongan Allah.
Kalimat itu terus aku teriakkan dalam hatiku. Hingga akhirnya sampailah pada
sebuah air terjun yang sejuk.
Tak
berhenti sampai disitu, ternyata puncak pulosari yang aku tuju masih harus
banyak melewati bebatuan besar, kerikil tajam, akar pohon yang merambat,
jalanan yang lumayan licin, dan pohon-pohon yang tumbang. Jika membayangkan itu
rasanya aku tak sanggup. Rasanya ingin sekali aku memutar arah lalu turun dan
keluar dari barisan dakwah ini. Mengapa barisan dakwah ? karena bagiku mendaki
gunung ini ibarat perjalanan dakwah yang memang tidak mudah untuk melewatinya.
Banyak sekali rintangan yang terbentang. Tapi jika aku melakukannya, itu
artinya aku telah gagal. Aku telah gagal menjadi kader dakwah yang militan,
kader dakwah yang tahan banting, telah gagal menjadi perempuan yang soliha. Dan
jika begitu, artinya aku tidak akan pernah bisa mengajak kedua orangtuaku
menuju surga-Mu ya Rabb.
Aku
kikis pikiran itu. Kembali aku semangat ketika mengingat ummi. Ketika aku
bayangkan Ummi lah yang berada dipuncak itu. Bagaimanapun aku harus bisa sampai
pada puncak pulosari itu.
Walau
dengan peluh yang terus bercucuran, sampailah aku beserta teman-teman lainnya
di kawah yang menghamburkan bau belerang yang sangat menyengat. Walau udara
sudah terasa sejuk. Tetapi raga ini seperti dibakar.
Senang
sekali hatiku saat itu. Kami semua disibukkan dengan kamera masing-masing.
Pikiranku saat itu, perjuanganku mendaki telah selesai. Aku telah berhasil.
Tapi ternyata untuk mencapai pada puncak tertinggi kami membutuhkan waktu tak
kurang dari 1 jam 30 menit lagi. Ya Allah.. masih sanggup kah kaki ini
melangkah. Sempat terlintas pikiran seperti itu dalam benakku.
Kamipun
melanjutkan pendakian ini. Tak pernah sedikitpun aku bayangkan bahwa trek yang
akan kami lewati seterjal ini. Aku harus merangkak, mencari akar-akar pohon
yang kuat sebagai peganganku. Sangat hati-hati. Licinnya jalanan yang kami
lalui, mengharuskan kami bahu membahu melewatinya. Saling bantu dan saling
menguatkan. Ketika ada satu orang yang sudah terlihat tak sanggup, kami
memotivasinya. Itulah dimana ukhuwah menjadi sangat erat. Hidup atau mati, dua
pilihan itu lah yang berada dalam pikiranku ketika melewati terjalnya jalan
menuju puncak. Lagi-lagi lahaula wala
kuwwata illa billah, tak ada pertolongan lain selain Allah semata. Sama
halnya ketika kita melewat jalan kehidupan ini. Jalan seperih apapun, sesulit
apapun, ada Allah diatas segalanya. Yah.. tujuan kita. Kembali lagi kita
bertanya pada hati dan diri ini. Untuk apa kita hidup ? Untuk apa kita
dilahirkan ke dunia fana ini ? hanya Allah diatas semuanya. Hanya Allah diatas
semua kesulitan. Tak akan ada kata lelah jika tujuan telah bulat dan tekad demi
nama Islam. ALLAHU AKBAR !!!!!
Sungguh perjalanan
ini membuatku berpikir, merenung, dan kembali berkaca pada hati nurani.
Ternyata aku hanya satu butir debu diantara segumpal debu dipojokan dinding
bumi. Yah.. semoga debu suci. Walaupun bentuknya kotor, tapi hakikatnya suci.